lognews.co.id, Jakarta – Lembaga Sensor Film (LSF ) mengampanyekan Budaya Sensor Mandiri yang langsung berkaitan dengan literasi masyarakat khususnya dalam literasi digital,” tutur Rommy.
Literasi juga direalisasikan dengan program Desa Sensor Mandiri (DSM). Tiga pilot project DSM dicanangkan di Desa Tigaherang, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat; Desa Manguharjo, Kecamatan Madiun, Kota Madiun, Jawa Timur; dan Desa Candirejo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pada tahun 2022 juga dilakukan inisiasi DSM di Desa Gekangang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur dan Desa Klungkung, Kota Denpasar, Bali.
“Pelaksanaan DSM ini kita bekerja sama dengan perguruan tinggi melalui gerakan Kampus Merdeka, kita harapkan dapat terus berkesinambungan,” ujar Ketua Komisi III LSF, Naswardi.
Lebih lanjut disampaikan Naswardi, saat ini LSF telah membentuk sahabat sensor mandiri sebagai bagian dari perpanjangan tangan dalam mengampanyekan agar masyarakat menonton sesuai dengan klasifikasi usia. Tahun 2022, kampanye telah dilakukan melalui tiga sasaran yaitu mahasiswa dan dosen yang kita kenal dengan LSF goes to campus, pelajar dan guru dengan istilah LSF goes to school, dan sasaran komunitas yaitu LSF goes to community. “Harapannya adalah masyarakat kita mempunyai kesadaran yang tinggi untuk menonton sesuai dengan klasifikasi usia,” ungkap Naswardi.
Sebagai capaian pada literasi, LSF telah mencanangkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GNBSM) pada tahun 2021. Sepanjang tahun 2022, LSF telah melakukan 18 kali sosialisasi dengan tema yang berbeda. Sosialisasi dilakukan dengan dengan menggelar seminar nasional secara daring dan luring serta konsep kolaborasi.
Dikatakan Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, tercatat ada 36.514 judul film dan iklan film yang sudah di daftarkan di aplikasi Administrasi Sensor Berbasis Elektronik (e-SiAs).
“Dari jumlah tersebut, kami melakukan penyensoran berdasarkan film asal negara, genre, dan klasifikasi usia. Khusus film bioskop, LSF menyensor 179 judul film impor dan 99 judul film nasional atau 64 persen film impor dan 36 persen film nasional.” ujar Rommy dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (14/2).
Sedangkan pada penyensoran ulang, disampaikan Rommy, pada tahun 2022 meningkat 16 persen dari tahun sebelumnya dengan jumlah 80 judul film dan iklan film. “Dari jumlah tersebut, setelah dilakukan penyensoran ulang, sebanyak 11,25 persen permohonan tidak dikabulkan,” imbuh Rommy.
Pada tahun 2022, dialog antara LSF dan pemilik materi film atau iklan film telah berlangsung sebanyak sembilan kali dengan tiga judul film, tiga program televisi, dan tiga festival film.

Dikatakan Rommy, untuk jaringan teknologi informatika pemantauan dilaksanakan terhadap 4.038 tayangan dari tujuh layanan Over the Top (OTT) yang telah melakukan penyensoran, yaitu Disney+hotstar, Netflix, Maxstream, KlikFilm, MolaTV, WeTV, dan VIU.
“Pemantauan ini dilakukan untuk memastikan para pemangku kepentingan perfilman taat asas, baik dalam pembuatan maupun penanyangan film dan iklan film. Selain itu, pemantauan juga untuk memutakhirkan tren film terkini,” tutur Rommy.
Sesuai pasal 25 Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2014 tentang LSF yang menyebutkan bahwa penyensoran film dan iklan film dilakukan berdasarkan prinsip dialogis dengan pemilik film dan iklan film yang disensor.
“Dialog dilakukan jika pemilik film atau iklan film merasa berkeberatan terhadap penggolongan (klasifikasi) usia yang ditetapkan LSF. Misalnya menurut pemilik film isinya masuk pada kategori 13+, tetapi menurut LSF masuk klasifikasi usia 17, maka dari situ nanti kita adakan dialog,” jelas Rommy. (Amr-untuk Indonesia)


