Friday, 19 December 2025

YANG DITANCAP DALAM DIAM, YANG DIPINDAH DENGAN HORMAT

User Rating: 3 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh Ridaningsih, S. Ag. M. Pd (Laporan Pengawasan Pembangunan – Selasa, 16 Desember 2025)

Lurus, Kokoh, Vital: Politeknik Tanah Air Indonesia RayaKesaksian dari Tanah yang Menopang Sejarah

lognews.co.id - Hari ini bukan sekadar hari pengawasan. Ia adalah hari kesaksian. Kesaksian tentang bagaimana sebuah peradaban tidak dibangun hanya oleh beton dan baja, tetapi oleh cara manusia memperlakukan tanah, pohon, dan nilai-nilai yang tak kasat mata. Sejak pagi hingga sore hari, area pembangunan Politeknik Tanah Air Indonesia Raya tidak hanya dipenuhi oleh mesin dan pekerja, tetapi oleh satu bahasa yang sama—bahasa kesadaran.

Dentuman spun pile—paku bumi—berirama menembus tanah hingga kedalaman 18 meter. Bunyi itu tidak memanggil sorak, tidak menuntut perhatian. Ia bekerja dalam diam, senyap, dan setia. Tidak ada seremoni untuknya. Tidak ada plakat penghormatan. Kelak, ketika bangunan berdiri megah dan kehidupan akademik berdenyut di atasnya, paku bumi itu tidak akan terlihat. Namun dialah yang menanggung seluruh beban. Dialah penopang sejarah yang tidak meminta dikenang.

Pada hari yang sama, penulis menyaksikan peristiwa lain yang melampaui urusan teknis pembangunan: pemindahan pohon-pohon jati emas dari area hutan. Pohon-pohon ini bukan tumbuhan liar yang kebetulan tumbuh. Ia ditanam bertahun-tahun lalu oleh civitas ma’had—ditanam dengan niat, dirawat dengan kesabaran, dan dibiarkan tumbuh dengan harapan yang jauh mendahului berdirinya bangunan ini.

Lurus : Belajar Dari Pohon Yang Dilepaskan

Pemindahan pohon-pohon jati emas ini dilakukan bukan dengan tergesa, bukan pula dengan sikap menaklukkan. Ia diawali dengan proning—pemangkasan. Kerindangan yang telah tumbuh lama harus dilepaskan. Ranting dan daun yang dahulu menjadi kemewahan harus berpisah, menyisakan batang yang lurus, bersih, dan tampak telanjang.

Pada titik ini, hati manusia diuji. Sebab apa yang tampak seperti kehilangan, sejatinya adalah persiapan hidup. Pohon itu tidak sedang dimiskinkan; ia sedang diselamatkan.

Di sinilah makna lurus menghantam kesadaran

Lurus bukan sekadar tegak secara fisik. Lurus adalah keberanian melepaskan yang berlebihan demi keberlangsungan hidup. Lurus adalah kejujuran untuk mengakui bahwa tidak semua yang rimbun itu sehat, dan tidak semua yang lebat itu perlu dibawa ke masa depan. Pohon jati emas itu “dipaksa” lurus agar akarnya tidak terbebani, agar energinya terkonsentrasi pada kehidupan, bukan pada kemewahan yang menguras daya.

Seperti manusia, pohon pun harus diluruskan agar mampu berpindah zaman. Ia berdiri telanjang, tanpa kemegahan masa lalu, siap ditanam di tempat baru, menghadapi cuaca yang tidak menentu, dan memulai ulang siklus hidupnya. Ia tidak dimusnahkan. Ia tidak dipatahkan. Ia diluruskan—agar hidupnya lebih panjang dari sekadar satu lokasi.

Pemindahan itu dilakukan menggunakan mesin pemindah pohon bernama Big John. Sebuah mesin besar, kuat, dan presisi. Namun hari itu, Big John tidak tampil sebagai simbol dominasi manusia atas alam. Ia justru menjadi perpanjangan tangan kesadaran—mengangkat pohon dengan kehati-hatian, menjaga akar dan tanah yang menyertainya, lalu memindahkannya menuju lahan basis, area praktikum Politeknik, tempat pohon itu akan kembali ditanam, tumbuh, dan memberi manfaat dalam fungsi baru.

Kokoh : Pelajaran dari yang Tak Terlihat 

Sementara itu, di sisi lain area pembangunan, spun pile terus ditanam. Paku-paku bumi ini tidak pernah tampil di permukaan. Ia tidak pernah dipuji. Namun justru dari kedalaman itulah seluruh bangunan akan berdiri.

Inilah pelajaran kokoh

Kokoh tidak identik dengan keras. Kokoh tidak harus terlihat. Justru yang paling menentukan sering kali adalah yang paling tersembunyi. Spun pile yang ditanam hingga 18 meter ke dalam tanah mengajarkan satu hal yang sering dilupakan manusia modern: fondasi yang baik tidak dibangun untuk dilihat, melainkan untuk menanggung beban.

Seperti nilai-nilai luhur, seperti keikhlasan, seperti integritas—ia bekerja dalam senyap. Ia tidak hadir dalam pidato-pidato besar, tetapi tanpanya semua runtuh. Bangunan setinggi apa pun akan rapuh jika fondasinya dangkal. Begitu pula peradaban, pendidikan, dan manusia.

Kekokohan Politeknik Tanah Air Indonesia Raya hari ini tidak dimulai dari desain megah, tetapi dari keberanian menanam yang benar, dalam, dan tepat. Tidak tergesa ingin terlihat, tetapi sabar memastikan daya dukung. Inilah kokoh yang sejati: kesanggupan menunda kemegahan demi ketahanan jangka panjang.

Vital : Tanah Yang Tidak disia siakan

Pelajaran ketiga datang dari sesuatu yang sering diremehkan: tanah.

Puluhan dump truck hari ini mengangkut top soil—tanah hidup—dari area pembangunan politeknik menuju lahan yang telah disiapkan untuk tanaman buah-buahan. Tanah ini bukan limbah. Ia bukan sisa. Ia adalah lapisan paling subur, paling bernilai, dan paling menentukan bagi kehidupan.

Top soil itu tidak dibuang. Tidak disia-siakan. Ia dipindahkan agar kehidupan tumbuh di tempat yang tepat.

Inilah makna vital

Vital berarti memahami mana yang harus dipindahkan agar kehidupan tidak terputus. Vital adalah kesadaran bahwa pembangunan sejati tidak memutus siklus kehidupan, melainkan menatanya. Tanah yang sama yang hari ini menopang bangunan, besok akan memberi makan manusia melalui buah-buahan. Tidak ada yang dimatikan. Tidak ada yang dikorbankan secara sia-sia.

Dalam tindakan sederhana memindahkan tanah, tersimpan etika peradaban: menghormati sumber kehidupan, menjaga keberlanjutan, dan memastikan bahwa kemajuan tidak mengorbankan masa depan.

Kesaksian Peradaban 

Hari ini kami belajar bahwa membangun bukan hanya mendirikan bangunan. Ia adalah tindakan peradaban. Ia adalah keberanian meluruskan niat, kesungguhan mengokohkan fondasi, dan kebijaksanaan menjaga yang vital agar kehidupan terus berdenyut.

Kelak, mungkin tidak semua orang mengingat dentuman paku bumi ini. Mungkin tidak semua tahu bahwa pohon-pohon ini pernah dipindahkan dengan penuh hormat. Mungkin pula top soil ini tak pernah disebut dalam laporan resmi. Namun sejarah akan mencatat—meski tanpa kata—bahwa Politeknik Tanah Air Indonesia Raya dibangun di atas kesadaran, bukan sekadar di atas tanah dan beton.

Yang lurus akan bertahan.

Yang kokoh akan menopang zaman.

Yang vital akan menghidupi masa depan.