الخميس، 18 كانون1/ديسمبر 2025

MA'HAD AL ZAYTUN DALAM PERSPEKTIF BAHTSUL MASAIL PWNU DKI JAKARTA DAN JALAN PERADABAN MASA DEPAN

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

Oleh : H. Adlan Daie

Pemerhati politik dan sosial keagamaan (berdomisili di Indramayu Jawa Barat).

Hasil pembahasan masalah masalah keagamaan yang dilakukan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama ( LBM- PWNU) DKI Jakarta penting dimaknai untuk memperkaya perspektif pandangan keagamaan kita, tidak tersandra hegemoni "diktatorisme mayoritas" yang selama ini "bernafsu" menyesat nyesatkan Ma'had Al Zaytun, Indramayu Jawa Barat dengan konstruksi dalil dalil agama secara sepihak.

Dalam konstruksi kehidupan berbangsa dan bernegara hasil Bahstul Masail LBM PWNU DKI Jakarta di atas menjadi landasan berfikir dan bertindak kita dalam memperkokoh Pancasila sebagai "ide penuntun" jalan peradaban masa depan, merawat kebhinnekaan dan menghindarkan apa yang disebut Samuel Huntington sebagai "the class off civilization", sebuah benturan peradaban yang bertolak antara lain karena dipicu perbedaan pandangan keagamaan secara ekstrim.

 

Dari tujuh ponit hasil Bahtsul Masail PWNU DKI Jakarta di atas (dilaksanakan 16 sd 18 September 2023) minimal ada empat point yang relevan dibaca terkait tuduhan tuduhan sesat terhadap Al Zaytun, - wabil khusus Syekh Panji Gumilang, pimpinan Ma'had Al Zaytun - sehingga karena desakan publik dan penghakiman media secara tidak adil terjerat menjadi tersangka dalam perkara "penodaan agama", yaitu :

 

Pertama, hukum mengucapkan "shalom alaikhem" adalah diperbolehkan. Karena salam dengan menggunakan bahasa non-Arab (‘ajamiyah) adalah sah, sunnah, dan menjawabnya adalah wajib. 

 

Kedua, imam perempuan dalam shalat Jamaah laki-laki hukumnya khilafiyah. Sebagian ulama mayoritas berpendapat tidak boleh dan shalatnya tidak sah. Sebagian ulama yang lain berpendapat boleh dan shalatnya sah.

 

Ketiga, shalat berjamaah dengan shaf yang renggang hukumnya makruh dan tidak mendapatkan pahala kesempurnaan shalat berjamaah. Akan tetapi shalatnya tetap sah.

 

Keempat, ucapan seseorang yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Nabi Muhammad berdasarkan wahyu Allah bersifat "khilafiyah" di kalangan para ulama "salaf" sebagaimana diuraikan dalam kitab "al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran".Pendapat yang di luar mainstream tidak boleh dianggap kafir dan penista agama.

 

Perspektif hasil bahstul masail PWNU DKI Jakarta di atas jelas didasarkan pada kekuatan literatur literatur "kitab kuning", yakni kitab kitab "muktabaroh", standart kitab "Ahlus sunnah wal jamaah" atau "kutubul madzahib" yang diajarkan di semua jaringan pesantren NU mengajarkan kita bahwa perbedaan pandangan keagamaan adalah "tradisi kekayaaan" intelektual penting dirawat saling dihargai dan tidak "dipersekusi" oleh "diktatorisme mayoritas".

 

Sayangnya dalam kenyataan empiris sosial masyarakat kita jangankan "umumnya masyarakat muslim" di Indonesia, bahkan sejumlah elite ormas islam dan sejumlah pejabat publik belum meletakkan dalam kesadaran kolektif kehiduoan berbangsa dan bernegara yang bhinneka dan beragam. 

 

Pancasila dipahami lebih sebagai "jargon politik", tidak diletakkan sebagai "ide penuntun" bagi jalan peradaban masa depan di atas prinsip "kemanusiaan yang adil dan beradab". 

 

Bahkan seorang pejabat publik meletakkan pandangan keagamaan tertentu dalam konteks "diktatorisne mayoritas" dijadikan sumber hukum bertindak untuk melegitimasi penghakiman atas pandangan keagamaan yang berbeda, "menyeret" Pancasila menjadi "alat pukul" politis.

 

Betapa rendah pemahamannya tentang Pancasila sebagai "ide penuntun" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam sehingga menjadi pemicu ledakan persekusi secara tidak adil dan beradab" terhadap Ma'had Al Zaytun, lembaga pendidikan legal dan konstitusional di bawah payung regulasi negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

 

Penulis sama sekali "tidak menyesal" membela Al Zaytun dengan resiko diserang, dibully dan "dituduh dibayar" justru oleh kawan kawan penulis sendiri di lingkungan ormas Islam dan sejumlah alumni pesantren di mana dulu penulis bersama mereka saat dulu "nyantri" di pesantren terutama ketika penulis tampil memberi sambutan dalam acara 1 Syuro 1445 (19 juli 2023) di Ma'had Al Zaytun dan viral di media sosial.

 

Pembelaan penulis terhadap Mahad Al Zaytun yang dipersekusi secara tidak adil adalah pembelaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, ide penuntun dan landasan konstitusional kehidupan berbangsa dan bernegara di mana seluruh warga negara Indonesia dijamin haknya dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya.

 

Di atas segalanya dibalik kehebohan tentang Al Zaytun beberapa waktu lalu hikmahnya adalah bahwa ternyata tingkat toleransi dan moderasi beragama masyarakat kita, bahkan sejumlah pimpinan ormas islam dan sejumlah pejabat publik sekalipun sangat rendah. Toleransi dan moderasi beragama "PR" besar bagi negara dan pemerintah untuk disublimasi dalam ruang ruang kebatinan publik.

 

Data survey Marcus Meizner dan Burhanudin Muhtadi (2016 - 2018) dalam paper ilmiyah nya berjudul "The Myth Of Pluralism Nahdlatul Ulama" 2020 memberi gambaran kuantitatif di level NU saja, ormas islam terbesar di Indonesia dan dipandang paling moderat rata rata tingkat penerimaan warga NU di level akar rumput terkait isu toleransi, pluralisme.dan ke bhinneka an di bawah 50%. 

 

Ini artinya lebih dari 70 juta potensial "intoleran" jika diukur dari jumlah warga NU menurut survey LSI (2023) sebesar 52% dari seluruh populasi muslim di Indonesia.

 

Dalam konteks itulah kerja Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan program "moderasi beragama" kementerian Agama RI tidak memadai dihayati sebagai kerja politik pragmatis dan bersifat segmentatif aliran pandangan keagamaan justru potensial mudah jatuh pada apa.yang diisyaratkan Al qur an "mereka memecah belah agama, menjadi kelompok, masing masing kelompok hanya membanggakan kelompoknya sendiri" ( Al.Rum 32).

 

Dengan kata lain belajar dari "kasus" Ma'had Al Zaytun yang dipersekusi karena perbedaan pandangan keagamaan saatnya proyeksi kerja ormas ormas islam dan negara tidak dikonstruksi secara politis melainkan disublimasi untuk memantapkan pandangan "moderasi beragama" sebagai basis kekuatan modal jalan peradaban baru yang menjungjung toleransi , kebhinnekaan dan perdamaian dibawah "ide penuntun" Pancasila, dasar final negara kita kecuali jika hanya berpura pura Pancasila.

 

Wassalam.