الإثنين، 15 كانون1/ديسمبر 2025

Menyingkap makna "Al-Hadits" dalam Al-Qur'an

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

Oleh : Ali Aminulloh

lognews.co.id - Mengkaji "Al-Hadits" adalah perjalanan intelektual yang tak pernah usai. Ratusan kitab telah tersusun, ribuan kajian telah tertulis dari zaman ke zaman, namun hingga kini, perdebatan seputar otentisitas dan kedudukannya sebagai sumber hukum tetap menjadi magnet dalam kajian ilmu Keislaman.

Fakta historis menunjukkan bahwa pengodifikasian dan pembukuan Hadits Nabi secara sistematis baru dilakukan secara masif ratusan tahun setelah wafatnya Rasulullah (abad ke-2 Hijriah), menjadi salah satu akar perdebatan utama. Ditambah lagi, adanya riwayat yang melarang Rasulullah menulis selain Al-Qur'an, semakin memperumit upaya otentikasi. Fenomena ini pada akhirnya melahirkan keragaman pendapat yang kaya namun juga kontroversial tentang kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua.

Pada konteks ini, penulis tidak akan masuk ke ranah silang pendapat mengenai otentikasi dan kedudukan Hadits Nabi yang sudah dikodifikasi. Sebaliknya, kita akan melakukan kajian komprehensif, makna Al-Hadits dalam sumber primer yang paling otentik: Al-Qur'an Al-Karim.

Al-Qur'an menggunakan kata "hadits" dengan berbagai derivasi sebanyak 36 kali, termasuk 18 kali dalam bentuk hadits (الْحَدِيْث) dan 5 kali dalam bentuk haditsaa (حَدِيْثًا). Melalui kajian hermeneutik, kita akan menganalisis penggunaan kata Al-Hadits dan derivasi lainnya yang tersurat dalam Al-Qur'an, dengan tujuan memahami makna mendalamnya di balik konteks sosial dan linguistiknya.
Kajian ini akan membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah Al-Hadits yang paling Mutawatir (paling otentik dan terpercaya), sebuah kesimpulan yang ditegaskan oleh Wahyu itu sendiri.

Analisis Linguistik: Tiga Dimensi Makna "Al-Hadits" dalam Al-Qur'an

Secara linguistik, al-hadits (dari akar kata h-d-th) merujuk pada "perkataan, berita, atau cerita." Dalam Al-Qur'an, istilah ini digunakan dengan tiga dimensi makna yang saling berkaitan, mulai dari level Ilahi, naratif, hingga etika sosial. Konteks sosial Mekah, yang menghargai syair dan retorika lisan, menjadikan penggunaan istilah ini sangat strategis oleh Al-Qur'an untuk mendefinisikan otoritasnya.

1. Al-Hadits sebagai Otoritas Mutlak (Al-Qur'an)

Penggunaan kata al-hadits yang paling mulia adalah ketika merujuk langsung kepada Al-Qur'an, menempatkannya sebagai perkataan yang tak tertandingi kebenaran dan keunikannya

  1. Perkataan Terbaik: Al-Qur'an secara eksplisit menyebut dirinya sebagai "Ahsan al-Hadits" (Perkataan yang Terbaik) dalam Surah Az-Zumar ayat 23. Ini adalah penguatan tertinggi terhadap Al-Qur'an sebagai sumber yang paling benar dan paling indah.
  2. Tantangan dan Keunikan: Al-Qur'an menantang para peragu, "Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (al-hadits)" (QS. At-Thur: 34), dan mempertanyakan, "Maka, pada perkataan manakah sesudahnya (Al-Qur'an) mereka akan beriman?" (QS. Al-Mursalat: 50) serta (QS. Al-Qalam: 44). Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah al-hadits yang tidak tertandingi dan merupakan sumber keimanan mutlak setelah Allah.
  3. Peringatan: Al-Qur'an juga menegur keras mereka yang meremehkan wahyu ini: "Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?" (QS. An-Najm: 59) dan "Apakah kamu menganggap remeh berita ini (Al-Qur'an)" (QS. Al-Waqi'ah: 81). Peringatan ini menegaskan bahwa al-hadits Ilahi tidak boleh disepelekan.

2. Al-Hadits sebagai Narasi Kebenaran (Kisah dan Berita)

Dalam dimensi ini, al-hadits berfungsi sebagai narasi sejarah atau kisah para nabi, yang digunakan Al-Qur'an sebagai pelajaran (ibrah) dan bukti kenabian.

  1. Kisah Kenabian: Ayat-ayat berulang kali menanyakan kepada Nabi Muhammad, "Sudah sampaikah kepadamu kisah Musa?" (QS. An-Nazi'at: 15) dan (QS. Thaha: 9), atau "Sudahkah sampai kepadamu berita tentang bala tentara" (QS. Al-Buruj: 17). Ini menunjukkan bahwa hadits (kisah) dalam Al-Qur'an memiliki fungsi kebenaran dan peringatan.
  2. Berita Besar: Istilah ini juga digunakan untuk merujuk pada peristiwa besar seperti Hari Kiamat: "Sudahkah sampai kepadamu berita tentang al-Gāsyiyah (hari Kiamat)" (QS. Al-Ghasyiyah: 1).
  3. Keotentikan Kisah: Al-Qur'an secara tegas membedakan dirinya dari cerita rekaan, menyatakan bahwa kisah-kisah di dalamnya "bukanlah cerita yang dibuat-buat (haditsan yuftara)" (QS. Yusuf: 111), melainkan pembenar bagi kitab-kitab sebelumnya.

3. Al-Hadits sebagai Interaksi Sosial dan Etika (Percakapan Manusiawi)

Dimensi ini mengatur perkataan dan interaksi lisan antarmanusia, menekankan batasan moral dan etika:

  1. Peringatan Percakapan Kosong: Terdapat peringatan keras terhadap orang yang membeli "Lahw al-Hadits" (percakapan kosong) untuk menyesatkan dari jalan Allah (QS. Luqman: 6).
  2. Etika Sosial: Al-Qur'an mengatur tata krama bertamu, melarang para sahabat "memperpanjang percakapan (hadits)" di rumah Nabi setelah selesai makan (QS. Al-Ahzab: 53).
  3. Perkataan Kufur: Al-Qur'an juga menggambarkan perkataan orang munafik yang "hampir tidak memahami pembicaraan (haditsaa)" yang disampaikan kepada mereka (QS. An-Nisa': 78). Selain itu, ada larangan duduk bersama orang yang memperolok-olok ayat Allah hingga mereka beralih ke pembicaraan (hadits) yang lain (QS. An-Nisa': 140, dan QS. Al-An'am: 68).
  4. Janji Allah: Allah menegaskan, "Siapakah yang lebih benar perkataannya (haditsaa) daripada Allah?" (QS. An-Nisa': 87) .

Kesimpulan: Al-Qur'an adalah Al-Hadits yang Paling Mutawatir

Dari kajian hermeneutik terhadap penggunaan kata Al-Hadits dan derivasinya dalam Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa secara teologis, Al-Qur'an adalah Al-Hadits yang paling otoritatif dan Mutawatir.

  1. Gelar Ilahi: Al-Qur'an adalah satu-satunya perkataan yang diberi gelar Ahsan al-Hadits (Perkataan Terbaik) dan dijamin kebenarannya oleh Allah ("Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?").
  2. Otentisitas Transmisi: Sementara Hadits Nabi (Sunnah) memerlukan verifikasi sanad (rantai periwayat), Al-Qur'an sebagai al-hadits Ilahi telah diriwayatkan secara tawatur (masif) dan kolektif oleh seluruh umat Islam, menjamin keutuhan setiap hurufnya sejak diturunkan.
  3. Tolok Ukur Kebenaran: Al-Qur'an adalah hadits yang menjadi tolok ukur kebenaran; ia membedakan dirinya dari "hadits yang dibuat-buat" dan "lahw al-hadits," memposisikannya sebagai standar tertinggi bagi semua perkataan dan hukum.

Oleh karena itu, penelusuran linguistik ini memperkuat pandangan bahwa Al-Qur'an adalah Al-Hadits yang paling kuat dan paling wajib dijadikan sandaran utama dalam peradaban Islam.