Oleh: Ali Aminulloh
(Disarikan dari Qabliyah Jum'at Syaykh Al Zaytun)
Ikhtiar Pangan, Nadzar, dan Keteguhan Iman Menyongsong 2026
lognews.co.id - Setiap Jum'at pagi, di Basement Ali bin Abi Thalib, Syaykh memberikan evaluasi kepada para pelaku didik. Kegiatan tersebut dinamakan Qabliyah Juma'at. Pada, Jum'at, 19 Desember 2025, mengawali taushiyahnya, beliau menyampaikan bahwa menjelang penghujung tahun 2025, rasa syukur mengalir dengan tenang. Tahun ini menjadi tahun yang “ramah” bagi alam. Hujan turun hampir sepanjang tahun, hanya satu bulan yang benar-benar kering. Curah hujan yang melimpah ini menjadi karunia besar, terutama bagi dunia pertanian dan perkebunan.
Namun, di balik rasa syukur itu, ada kesadaran yang lebih dalam: tanda-tanda perubahan iklim kian nyata. Proyeksi menunjukkan bahwa tahun 2026 curah hujan akan berkurang. Di sinilah nalar dan iman bertemu. Sebagai masyarakat terdidik, tidak cukup hanya mengeluh atau menunggu. Tidak boleh ada narasi “kekurangan air” tanpa persiapan. Jika 2025 masih cukup, maka 2026 harus disiapkan sejak sekarang.
Perkebunan sebagai Jalan Ikhtiar
Ikhtiar itu diwujudkan melalui pengembangan usaha perkebunan. Bulan Desember yang sarat hujan menjadi awal yang ideal. Januari mungkin masih basah, tetapi bulan-bulan setelahnya bisa berubah menjadi kering. Maka pilihan jatuh pada tanaman buah, khususnya durian.
Durian bukan tanaman instan. Pada usia 1–3 tahun, ia memerlukan perhatian paripurna terutama ketersediaan air dan kebebasan dari gulma. Menariknya, pendekatan yang dipilih bukan cara instan dengan herbisida, melainkan penyiangan manual. Lebih melelahkan, tetapi lebih ramah tanah dan berkelanjutan.
Sebagai solusi alami, digunakan tanaman rambat penutup tanah bernama teleng, bunga biru yang indah dan bermanfaat. Selain menekan pertumbuhan gulma, bunganya dapat diolah menjadi minuman sehat, terlebih jika dicampur sambiloto. Menyegarkan, menyehatkan, dan bernilai ekonomi. Dari satu metode perawatan, lahir dua manfaat: lahan tertutup dengan baik dan produk sampingan berupa teh teleng.
Nadzar yang Menjadi Kompas
Semua ikhtiar ini tidak berdiri di ruang hampa. Di baliknya, ada sebuah nadzar yang terus menghidupkan semangat: memberikan ihsan guru sebesar USD 1.000. Nadzar yang mungkin tampak kecil di atas kertas, tetapi sarat makna spiritual dan historis.
Pada masa ketika Syaykh melanglang buana di negeri jiran, janji itu terucap: suatu hari, gaji guru akan mencapai USD 1.000. Hingga kini nadzar itu belum terwujud. Namun doa tak pernah putus. Dalam setiap langkah, Syaykh selalu bertanya dalam do'anya: kapan nadzar ini bisa terwujud?
Jawaban ikhtiar itu dipilih melalui durian, khususnya durian duri hitam. Percobaan pertama dengan durian montong belum berhasil. Percobaan kedua dilakukan di Haurgeulis: sekitar 200 pohon ditanam, 54 di antaranya telah tumbuh dengan baik. Karakteristik duri hitam yang kering dan bernilai tinggi bahkan dengan harga jual Rp600 ribu per kilogram sudah menguntungkan, menjadi harapan baru.
Upaya ini tidak main-main. Penanaman dan pengontrolan dilakukan oleh tenaga ahli. Bahkan disiapkan pula 32.000 bibit sambungan duri hitam dengan target survival rate 85 persen. Jika tercapai, sekitar 27.000 pohon akan menghijaukan lahan seluas 262 hektare, tersebar di Garut, Songgom, dan akan dilengkapi di Tasikmalaya.
Dari Kampus, untuk Guru dan Pengabdian
Ikhtiar itu dimulai dari dalam kampus. Saat ini telah tertanam 1.031 pohon, dengan target 1.500 pohon. Guru-guru dan eksponen ikut terlibat langsung. Setiap orang memelihara lima pohon, bukan sekadar untuk kebun, tetapi sebagai niat menambah penghasilan guru dan memperkuat rasa memiliki.
Tumpangsari dipilih dengan kunyit. Selain bernilai ekonomi, kunyit menjadi nutrisi alami bagi tanah dan pohon. Perawatannya dilakukan rutin setiap Senin dan Kamis, hari yang bukan hanya teknis, tetapi spiritual. Pohon diajak “berbicara”: engkau akan menjadi bagian dari pengabdian.
Bertahan di Tengah Tuduhan
Pertanyaan sering muncul: bagaimana Al-Zaytun bisa terus menambah lahan, sementara dana diblokir dan barang bukti belum dikembalikan?
Jawabannya sederhana, namun dalam: karunia.
Syaykh menghadapi berbagai tuduhan, termasuk TPPU, yang sejatinya menuntut adanya tindakan pidana awal. Manajemen keuangan Ma’had yang ketat, di mana setiap pengeluaran berada di bawah persetujuan Syaykh, justru menjadi dasar tuduhan. Namun semua itu dihadapi dengan keteguhan.
Anehnya, di tengah tekanan, rezeki justru terus mengalir. Lahan demi lahan ditawarkan. Jika cocok, dibeli. Keyakinan bahwa kebenaran akan menemukan jalannya sendiri menjadi sumber daya yang tak kasatmata.
Pangan sebagai Fondasi Ekonomi
Menyongsong 2026, tantangan tidak hanya datang dari alam, tetapi juga ekonomi. Ketika pangan tercukupi, ekonomi akan baik. Jika tidak, kerusakan sosial mudah terjadi.
Pangan dipahami secara utuh: bukan hanya beras, tetapi juga lauk-pauk, sayur, daging, ikan, dan buah. Maka disiapkan bioflok ikan di area Basis, dengan target panen rutin setiap Senin dan Kamis. Tempe pun diproyeksikan mandiri, melalui tumpangsari kedelai di kebun durian seluas puluhan hektare.
Padi koshihikari menjadi pilihan utama. Hasil penelitian Syaykh menunjukkan varietas ini adaptif, lembut, dan awet. Di Jepang, beras ini bahkan dijual dalam kondisi sudah dimasak, menandakan kepercayaan pada kualitasnya.
Etos Kerja sebagai Kunci
Syaykh menegur pimpinan satuan pendidikan yang kurang peduli terhadap sarana dan prasarana yang menjadi tanggungjawabnya. Pada akhirnya, persoalan bukan semata kekurangan bahan. Bahan ada. Alat ada. Ilmu ada. Yang sering kurang adalah etos kerja dan kreativitas. Di sinilah peran pimpinan satuan pendidikan diuji: bagaimana menggerakkan potensi, bukan sekadar mengelola rutinitas.
Menanam durian, kedelai, padi, dan ikan sejatinya adalah menanam harapan. Tentang kemandirian, tentang nadzar yang ditunggu, dan tentang iman yang bekerja bersama akal sehat. Di tengah perubahan iklim dan tantangan zaman, ikhtiar inilah yang menjaga masa depan tetap tumbuh perlahan, tetapi pasti.


