Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
lognews.co.id - Beberes kemiskinan di Indramayu adalah program berbobot makna "religius" begitu tinggi. Inilah kerja politik mulia menurut doktrin agama tanpa harus berdagang iklan visi "religius" di ruang publik kecuali mendadak "religius" dan "pubertas" agama.
Membiarkan kemiskinan hanya alat dagang politik "skincare" yang menipu jelas "mendustakan agama" dan mengingkari nilai "religius' secara terang terangan, sejelas jelasnya dan senyata nyatanya (Q S. Al Ma'un).
Kemiskinan di Indramayu adalah problem sosial mengirim pesan makna yang "memalukan" sekaligus "memilukan" di tengah "khotbah khotbah " para pejabatnya tentang Indramayu dengan selebrasi kekayaan alam berlimpah.
Data BPS (Badan Pusat Statistik) Jawa Barat akhir tahun 2024 angka kemiskinan di Indramayu sebesar 11,97%, paling tinggi dari 27 kab/ kota di Jawa barat, di atas rata rata kemiskinan Nasional (8,7%) dan di atas rata rata kemiskinan di Jawa Barat (7,9%).
Angka 11,93 % secara populasi tidak kurang dari 215 ribu rakyat Indramayu dalam kategori miskin dari total penduduk Indramayu 1,8 juta. Artinya, 215 ribu rakyat Indramayu berpenghasilan di bawah 20 ribu/sehari (Standart BPS), setara harga segelas kopi di sebuah kafe di Indramayu.
Jika mereka (215 orang) miskin itu dikumpulkan tidak ada stadion di Indramayu yang sanggup menampung jumlah orang miskin sebesar angka di atas. Jumlah mereka 15 kali lipat dari total jumlah 14000 ASN/PPPK di Indramayu.
Jka mereka (215 ribu orang miskin) itu diilustrasikan diangkut dengan bus maka membutuhkan hampir lima ribu bus besar (50 orang/bus), berjejer di jalan Pantura dari Widasari hingga jembatan "Sewo", sukra, perbatasan kab Subang.
Jika mereka (215 ribu orang miskin) tersebut diasumsikan adalah "voters aktif", yakni pemilik suara aktif dalam pemilu maka itu ekuevalen atau setara dengan 13 kursi DPRD Indramayu, sebuah representasi politik besar.
Dulu saat masa pilkada 2024 soal kemiskinan menjadi "senjata" ampuh menyerang Nina Agustina, bupati incumbent saat itu. Kini Lucky Hakim, bupati Indramayu pengganti Nina Agustina, "paling" bertanggung jawab menurunkan angka kemiskinan di Indramayu.
Dalam periode efektif kepemimpinan Nina Agustina (2022 - 2024) pasca covid 19 kemiskinan dari 12,77% (2022) turun ke 11,93% (2024), turun 0,84% atau turun per tahun 0,28%, setara dengan kemiskinan turun per tahun 4800 orang, selama tiga tahun (2022- 2024) total turun 14400 orang.
Secara teori sosial kepemimpinan Lucky Hakim pengganti Nina Agustina dalam kenormalan ekosistem sosial (tanpa covid 19) tentu lebih mudah dan berpeluang melampaui angka keberhasilan Nina Agustina di atas.
Pertanyaannya dari mana "hulu" memulai "beberes" kemiskinan di Indramayu setidaknya mendekati angka rata rata kemiskinan nasional sebesar 8,2 % atau rata rata di Jawa Barat sebesar 7,8%
Berapa persen angka kemiskinan di Indramayu dapat diturunkan dalam setiap tahun dengan ruang fiskal APBD 3, 7 Triliyun /tahun ?
Beberes kemiskinan di Indramayu jelas tidak bisa hanya dengan acting seorang bupati "peluk cium" seorang lansia di pinggir jalan dalam drama "air mata" yang disorot kamera lalu diposting di platform media sosial.
Problem kemiskinan di tangan bupati bukan tentang citra dan kisah pilu untuk dinarasikan dalam konten konten "YouTube" tapi tentang nasib warga Indramayu untuk diselamatkan "kecemasan" masa depan hidupnya.
Problem kemiskinan harus dijawab dengan kebijakan kebijakan sistemik dalam istilah lembaga "World Bank" disebut kebijakan "pro-poor, pro-job, pro-growd", pro pengentasan kemiskinan, membuka lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Di sini menjadi jelas bahwa tugas dan tanggung jawab bupati bukan bagaimana publik di framing puas atas tampilan aksesoris politik "kulit luar" lalu dilegitimasi oleh survey kepuasan publik
Tetapi bagaimana kebijakan seorang bupati memiliki out put dan implikasi dalam kinerja teknokratis di mana kelak dapat diukur dalam angka angka BPS (Badan Pusat Statistik) secara akuntabel terkait penurunan angka kemiskinan.
Kunci keberhasilannya dalam konteks sosiologis bangsa Indonesia yang "religius" harus ditopang keteladanan hidup para pemimpinnya. Pemimpin yang berintegritas, tidak berbohong alias jujur, tidak jual beli jabatan lewat broker "preman politik", tidak pamer kemewahan di atas derita rakyat miskin, dll.
Mari kita tunggu progresnya.
Wassalam.