Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Pada Jumat, 4 Juli 2025, satu pesan singkat terkirim lewat WhatsApp dari Bunda Sumiyati. Isinya undangan resmi dari Direktorat Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) untuk menghadiri sebuah workshop penting mengenai Kontekstualisasi Pemberdayaan bagi Pendidikan Non Formal. Kegiatan ini dilaksanakan di Jakarta, 7-9 Juli 2025. Di dalamnya terselip harapan: agar PKBM Al-Zaytun dapat berbagi masukan tentang bagaimana menumbuhkan motivasi belajar warga—karena komitmen keluarga besar Al-Zaytun dalam menempuh pendidikan dinilai luar biasa.
Tak berlebihan jika Al-Zaytun dijadikan contoh. Di lembaga ini, belajar bukan sekadar keharusan administratif, melainkan denyut nadi kehidupan yang tertanam dari pucuk pimpinan hingga lini terbawah. Dan semua itu berakar pada satu hal: keteladanan.
Belajar dari Langkah Pemimpin
Syaykh A.S Panji Gumilang tidak hanya mengajak, tapi lebih dahulu berjalan. Ketika beliau menyerukan pentingnya pendidikan pascasarjana, beliau sendiri duduk di bangku S2 meskipun usianya telah menapaki kepala tujuh. Dan pada usia 79 tahun, beliau menorehkan sejarah: mengikuti program doktoral bidang hukum bersama 20 sahabatnya—sebuah pesan sunyi namun menggema, bahwa menuntut ilmu adalah tangga panjang yang tak terbatas usia.
Umi Syaykh pun turut melangkah, menjadikan pendidikan sebagai budaya keluarga. Langkah ini menular menjadi gerakan kolektif yang terstruktur. Para pimpinan unit diajak menjadi teladan. Motivasi disampaikan bukan hanya dalam forum akademik, tapi juga dalam spiritualitas: dari mimbar dzikir Jumat hingga peringatan 17 Agustus dan Muharram. Pendidikan hadir sebagai jiwa moral dan kebangsaan.

PKBM Al-Zaytun: Ruang Belajar Tanpa Batas Usia
Sejak 2002, Al-Zaytun membuka ruang belajar yang lebih inklusif: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Program ini menjangkau karyawan, keluarga civitas, bahkan para wali santri yang sebelumnya belum memiliki akses terhadap pendidikan formal. Fleksibilitas waktu—belajar malam bagi yang bekerja siang, atau siang bagi keluarga—menjadikan PKBM sebagai jembatan antara kesibukan dan semangat belajar.
Tak hanya akademik, PKBM juga memberikan pembelajaran keterampilan hidup, pemanfaatan fasilitas setara kampus, serta pembinaan koperasi dan komunitas belajar. Tutor-tutornya bukan orang luar, tapi guru internal dan alumni PKBM sendiri—mereka yang dulu belajar, kini mengajar. Ikatan Alumni PKBM yang telah terbentuk menjadi bukti bahwa gerakan ini bukan sekadar proyek, tapi peradaban.

Statistik yang Bercerita tentang Jiwa
Dalam dua dekade lebih, PKBM Al-Zaytun telah meluluskan 3.222 warga belajar. Rinciannya:
- Paket A: 529 orang
- Paket B: 1.155 orang
- Paket C: 1.538 orang
- Alumni yang sedang menempuh S1: >150 orang
- Alumni lulus S1: >100 orang
- Alumni menempuh S2: 6 orang
- Alumni lulus S2: 1 orang
- Alumni menempuh S3: 1 orang
Kini, hampir seluruh karyawan Al-Zaytun telah memiliki ijazah SLTA. Beberapa bahkan telah menjadi akademisi dan tenaga pengajar sendiri. Statistik ini bukan sekadar angka, melainkan bukti bahwa perubahan besar dimulai dari keyakinan kecil yang dipelihara terus-menerus.
Motivasi Tak Sekadar Ceramah
Kisah sukses PKBM Al-Zaytun bukan terbentuk dari retorika semata, melainkan dari budaya belajar yang dihidupi secara otentik. Proses yang panjang, disiplin, dan penuh kasih. Sebuah motivasi yang tidak diimpor dari luar, tapi tumbuh dari dalam—mengakar dalam ruh lembaga itu sendiri.
Ketika Bunda Sumiyati meminta masukan dalam workshop PNFI tentang bagaimana membangun motivasi belajar, barangkali jawabannya sederhana: motivasi tidak bisa hanya diceramahkan, ia harus diteladankan.
Mendidik sebagai Ibadah
Segala ikhtiar di Al-Zaytun berakar pada ruh yang dalam:
“Mendidik dan membangun semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT.”
Dengan menjadikan pendidikan sebagai jalan ibadah, Al-Zaytun menanamkan nilai spiritualitas dalam setiap lembar catatan, setiap jam belajar, dan setiap cita-cita. Pendidikan di sini bukan tentang ijazah semata, tapi tentang martabat manusia. Bukan tentang angka-angka, tapi tentang makna.
Epilog: Mendidik untuk Menjadi Manusia Seutuhnya
Di tengah dunia yang kadang tergesa mengejar hasil tanpa proses, Al-Zaytun memilih jalan sebaliknya: membangun proses agar hasil datang dengan kemuliaan. Dari langkah seorang pemimpin, lahirlah gerakan. Dari ketekunan warga belajar, lahirlah peradaban. Maka kelak, ketika sejarah menulis tentang lembaga yang menyalakan cahaya ilmu dengan cinta, nama Al-Zaytun akan tertulis dengan huruf-huruf paling jernih—karena ia mendidik bukan hanya untuk cerdas, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya.



