lognews.co.id, Indonesia – Ketersediaan pangan adalah isu fundamental yang seringkali terabaikan dalam diskursus pembangunan nasional.. Pengalaman Al-Zaytun dalam mewujudkan swasembada pangan internal patut diapresiasi dan dikembangkan.
Prof. Dr. Ir. Giyatmi, M.Si., Rektor Universitas Sahid dan seorang Guru Besar Teknologi Pangan berdiskusi hangat dengan wartawan senior lognews Handy Nasty Usai pelaksanaan simposium pelatihan pelaku didik yang dihadiri oleh semua yang tergabung dalam ekosistem Pendidikan yang tidak terputus di Ma’had Al - Zaytun seperti pelajar, maha siswa, guru, dosen, serta seluruh civitas Ma’had AL-Zaytun mulai dari bagian pemakanan, asrama, kebersihan, hinga para pelaku pertanian yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Penyangga Ketahanan Pangan Indonesia (PPPKPI)
Dalam wawancaranya Ia menjelaskan keinginan untuk mengunjungi Ma’had Al-Zaytun akhirnya kesampaian, Setelah mengamati langsung Ma’had Al-Zaytun dari sejak pintu gerbang di Gate Utara Ma’had AL-A=Zaytun Profesor mengungkapkan rasa syukurnya melihat praktik konkret kemandirian di Al-Zaytun menjalankan "ketahanan pangan internal" yang menurutnya hal ini menjadi cita cita Indonesia sehingga Al-Zaytun cocok dijadikan prototype.
Pertanyaan mengenai kemampuan Al-Zaytun menyimpan gabah dalam jumlah besar muncul dibenak Prof. Giyatmi setelah mendengar bahwa kebutuhan pemakanan ribuan pelajar hingga 5.4 ton beras per tiga hari dan memiliki silo berkapasitas besar hingga 1.000 ton, Prof. Giyatmi langsung terheran heran bagaimana cara Ma’had Al-Zaytun mendatangkan sebegitu banyaknya pasokan beras.
“ Apakah ada ketersediannya ? saya belum dijelaskan luas sawahnya” ujar Prof. Giyatmi dengan rasa penasarannya mengingat tidaklah mudah untuk memastikan ketersedian pasokan selalu terpenuhi sehingga tidak ada yang merasa lapar baik tamu yang berkunjung maupun pelajar dan civitas Ma’had Al-Zaytun.
Meskipun luas lahan sawah belum terdiskusi detail, langkah menyimpan gabah adalah pertanda kesiapan menghadapi potensi krisis dan Ia mengharapkan Al-Zaytun tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan internal dengan ribuan pelajarnya namun juga berpotensi berkontribusi pada lingkungan sekitar, dari wilayah Indramayu hingga skala nasional.
Menjawab pertanyaan mengenai Syaykh Al Zaytun, Syaykh Panji Gumilang yang lebih dari sekedar melengkapi gizi seimbang dengan menerapkan pemakanan fungsional tiga kali sehari dengan melengkapi protein, serat, nutrisi, dan berbagai gizi kepada ribuan perut di Ma’had Al-Zaytun dianggap Prof. Giyatmi sebagai Langkah maju Al-Zaytun karena tidak hanya fokus tidak hanya pada aspek ketersediaan (availability), tetapi juga fungsi pemakanan fungsional dan kecukupan gizi (nutrition).
Selanjutnya Prof. Giyatmi menerangkan kondisi Indonesia, sebagai negara agraris terbesar, seharusnya menjadikan sektor pangan sebagai kekuatan utama. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya. Seraya mengingatkan atas kekhawatiran terbesar bangsa yaitu ketergantungan kronis pada impor—baik beras dari Thailand dan Vietnam, maupun gandum dari negara-negara yang rentan konflik seperti Ukraina dan kondisi ini diperparah oleh:
1. Lemahnya Kedaulatan Pangan: Profesor menyoroti bahwa Indonesia belum mengelola kedaulatan pangan secara holistik.
2. Tingginya kehilangan dan pemborosan pangan seperti:
- Food Loss (Kehilangan Pangan): berkurangnya jumlah makanan yang masih layak konsumsi yang terjadi pada tahap produksi, pascapanen, penyimpanan, dan pengolahan sebelum mencapai konsumen. Seperti hasil panen yang rusak saat pengangkutan atau penyimpanan yang buruk di gudang.
- Food Waste (Sampah Makanan): berkurangnya jumlah makanan layak makan yang terjadi pada tahap ritel (penjualan) dan konsumsi (rumah tangga atau restoran) karena dibuang. Contohnya adalah sisa makanan di piring atau makanan kedaluwarsa yang dibuang dari supermarket
3. Kalah Fokus dari Negara Lain: Indonesia belum memiliki visi semegah Thailand yang mencanangkan dirinya sebagai "Kitchen of the World."
Dengan adanya Pembangunan Politeknik Tanah AIR (Al-Zaytun Indonesia Raya) menurut pandangan Profesor Teknologi Pangan bahwa konsep asrama yang dimiliki Al-Zaytun membuat uji coba mahasiswa akan lebih efektif karena tidak terkendala keterbatasan waktu untuk menguji coba sendiri di lahan Pratik yang disediakan sehingga lulus nanti bisa langsung praktik, hal ini tidak dimiliki oleh Pendidikan akademik atau yang tidak memiliki asrama.
Sehari di Al-Zaytun Prof. Giyatmi hanya beberapa jam melihat kanan dan kiri segala yang ada di Ma’had Al-Zaytun walaupun begitu, dengan sedikitnya waktu Ia melihat praktik ketahanan pangan Ma’had Al-Zaytun bukan sekadar jargon, melainkan cerminan dari kesadaran pentingnya ketahanan pangan sebagai penentu hidup matinya sebuah bangsa
Kemudian Prof. Giyatmi juga menggarisbawahi pernyataan Presiden Soekarno yang relevan: "Pangan adalah mati hidupnya bangsa." Senada dengan itu, Syaykh Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang juga menegaskan bahwa lapar itu sakit.
Prof. Giyatmi menerangkan bahwa kedua pandangan ini menyatu dalam ide bahwa sebuah komunitas yang mampu memproduksi dan memberi makan dirinya sendiri adalah luar biasa, dan menjadi cetak biru yang seharusnya dimiliki negara.
Sebeumnya Prof. Giyatmi memberikan materi "Peran Teknologi Pangan Sebagai Pilar Ketahanan Pangan Nasional" dalam acara Pelatihan Pelaku Didik Al-Zaytun memasuki pekan ke-27 yang strategis dengan Tema besar yang diusung dalam momentum ini adalah "Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama menuju Pendidikan Modern Abad XXI dan 100 Tahun Usia Kemerdekaan Indonesia" dengan pendidikan yang dikembangkan di Al-Zaytun berlandaskan prinsip LSTEAMS (Law, Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics, and Spiritual), menunjukkan komitmen Al-Zaytun dalam menghantarkan generasi pelanjut dalam mengisi kemerdekaan dan 100 tahun Indonesia memperkuat pangan demi keberlangsungan dan martabat bangsa dengan kekayaan yang luar biasa.


