Oleh : H. Adlan Daie.
Analis politik dan sosial keagamaan.
lognews.co.id - Dalam paradigma pendidikan dari yang paling rumit hingga paling sederhana sekalipun, fungsi sekolah sebagai institusi pendidikan tidak akan keluar dari tiga fungsi.
Yaitu fungsi "enlightenment" (mencerahkan), "enrichment" (memperkaya wawasan dan perspektif) dan "empoweing" (memberdayakan) peserta didik.
Tulisan M. Taufiq Hidayat, pengamat pendidikan Indramayu berjudul "Tren Warna Sekolah di Indramayu ikuti arah politik?" ("Kagetnews, 5/5/2025), adalah praktek nyata "premanisasi" sekolah, menyimpang secara "ugal ugalan" dari tiga fungsi sekolah sebagai institusi pendidikan di atas.
Taufiq Hidayat dalam tulisan tersebut menulis begini : "Fenomena perubahan warna cat sekolah pasca pemilihan kepala daerah (pilkada) belakangan ini menjadi trend di lembaga pendidikan di Indramayu. Suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan kini terancam menjadi simbol afiliasi politik"
"Paktek ini merusak citra sekolah sebagai lembaga pendidikan yang independen. Anak anak sebagai generasi penerus bangsa seharusnya dididik untuk berfikir kritis dan objektif bukan dijejali dengan simbol simbol politik yang sempit".
Artinya apa yang ditulis Taufiq Hidayat di atas sebuah gambaran bahwa sekolah sekolah di indramayu menjadi instrument jalan kegelapan peradaban bagij generasi masa depan.
Mereka bertumbuh dalam ekosistem pendidikan yang dirancang oleh syahwat syahwat penguasa politik secara manipulatif dan culas
Ironisnya, nyaris tak terdengar suara kritis dan protes keras dari DPRD sebagai representasi advokatif perjuangan politik "akal sehat" publik.
Para pengamat dan praktisi pendidikan tenggelam dalam "lautan administratif", mengutip diksi Rhoma irama "buta tuli" terhadap praktek politisasi sekolah yang menyimpang di atas.
Para Ulama, intelektual, akademisi dan aktivis mulai redup dan "kelelahan" aktivisme moralitasnya. Lunglai tak berdaya menghadapi realitas politik yang angkuh dan "songong".
Mereka hanya bisa "bergumam lirih" bahwa praktek "trend warna sekolah mengikuti arah warna politik penguasa di indramayu sudah berlangsung sejak lama.
Dari "kuning" (Golkar) menjadi "merah" (PDIP - Nina Agustina) dan kini warna "biru (Nasdem - Lucky Hakim) hingga merambah ke gedung gedung Puskesmas dan fasilitas publik lainnya.
Pilkada begitu mahal dibiayai dari pajak keringat dan air mata rakyat ternyata hanya menghasilkan sirkulasi kepemimpinan politik manipulatif dan culas berlindung dibalik legitimasi "kekeliruan" masa lalu.
Tak terbayangkan apa jadinya ika misalnya Presiden Prabowo dan Gubernur Jawa Barat dengan "kuasa lebih tinggi" melakukan "politisasi warna" sekolah dan fasilitas publik lainnya mengikuti warna politik partai yang dipimpinnya .
Mereka berdua tidak melakukan itu semua karena mengerti betapa pimitifnya peradaban pendidikan kita jika hal itu dilakukan selain prinsip dalam pemerintahan adalah "continuity and change", yakni keberlanjutan simetris bersama semangat perubahan.
Inilah yang disebut dalam kaidah "fiqih politik", yaitu "Almuhafadhoh 'ala Al mudimish sholih wal akhdu bil jadilil Aslah". Kepemimpinan politik beradab adalah pemimpin yang mampu merawat yang lama yang baik dan adaptif terhadap perubahan baru yang lebih baik dan beradab.
Persoalan politisasi warna sekolah dan fasilitas publik lainnya hanya biasa dilakukan oleh kepemimpinan politik tanpa paradigma "nilai, sempit dan "stupid" alias bodoh, atau dalam istilah Ousjh Dialambaqa, pengamat kebijakan publik disebut pemimpin "blangsak".
Pemimpin "blanksak" menurut Denis Forvizin, seorang novelis moralis Rusia sangat berbahaya jika ia berkuasa karena ia tidak mencari suara suara kebenaran tapi justru sibuk mengerahkan "buzzer" untuk mencari alasan agar ia dianggap benar.
Maka jika sudah demikian keadaannya mengutip lirik puitis "kegelisahan" Mohamad Iqbal, penyair terkenal dari negeri Pakistan, yang ia tulis dalam bukunya berjudul "melejitkan energy Al Qur'an":
"Peradaban akhlak publik apalagi yang hendak diwariskan kepemimpinan politik untuk menyemai taman taman sari kehidupan dan membasuh nurani embun bening bagi anak anak sejarah masa depan jika mereka justru dipandu masuk gorong gorong jalan kegelapan peradaban?" Ambyaaar !!!
Wassalam.