Oleh : H. Adlan Daie.
Analis politik dan sosial keagamaan
Lognews.co.id - Sepintas membaca buku berjudul "Pengembangan Karakter", ditulis Dr. Akhmad Aflaha, S.E., M.M, mengingatkan penulis pada sebuah buku lama berjudul "Surat Surat Ideologis Seorang Ayah", tentang kecemasan seorang ayah atas kerapuhan karakter anaknya melintasi arus zaman.
Ayah yang cemas dan risau itu bernama J D Rockefeller, seorang Taipan Minyak, orang terkaya pertama di dunia (1922), ia menulis surat kepada puteranya yang tengah menempuh pendidikan, hidup jauh dari keluarga.
Ia menulis surat kepada puteranya begini : "Kamu harus percaya bahwa dirimu sendiri adalah modal terbesarmu, bukan kekayaan ayahmu. Kamu akan berdiri kokoh oleh dirimu sendiri", tulis Rockefeller pada putranya.
"Di dunia ini tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan ketekunan. Pendidikan saja tidak cukup. Dunia ini penuh orang berpendidikan yang gagal. Hanya ketekunan yang tidak akan mengecewakan. Itulah karakter", tulisnya lebih lanjut.
Sudah barang tentu buku yang ditulis Dr. Akhmad Aflaha ini tidak "se emosional" surat surat Rockefeller di atas tapi benang merah dan titik temunya adalah panggilan nafas zaman atas kecemasan makin massifnya fenomena kerapuhan karakter generasi muda, anak anak didik, di lingkungan sosial penulisnya.
Inilah keterpanggilan tanggung jawab intelektual penulisnya sebagai praktisi pendidikan dan aktivis sosial Nahdlatul Ulama (NU), sebuah ormas Islam terbesar di Indonesia, ia lahir dan tumbuh dari kesederhanaan ekosistem sosial pedesaan dengan tradisi keagamaan moderat dan kontrol etika sosial yang kuat
Kecemasan dan kerisauan atas problem krisis karakter ini ditulis penulisnya dalam buku ini dalam sub judul "Pengantar Penulis" sebagai berikut :
"Ketika saya mulai menekuni dunia pendidikan dan sosial saya menyaksikan bahwa krisis terbesar di tengah kemajuan zaman bukanlah kurangnya kecerdasan tapi melemahnya karakter. Banyak yang cakap berfikir tapi tak kokoh memegang nilai. Banyak yang inovatif tapi mudah lepas kontrol dalam etika. Di sanalah keresahan saya bermula", tulisnya.
Dalam perspektif itulah penulis meletakkan urgensi terbitnya buku ini, semacam kumpulan ide penuntun dalam pengembangan karakter, dikemas penulisnya dalam tulisan relatif praktis melalui pendekatan management yang disingkat dengan akronim "MANIS" (Mandiri, Aktif, Normatif, Inovatif dan Santun).
Penulis tidak perlu membedah lebih detil tentang varian varian konseptual dan basis filosofis terkait pengembangan karakter dan urgensinya dalam buku ini di tengah tengah kepungan algoritma media sosial yang begitu mudah "membanting banting" dan melumpuhkan karakter generasi muda, anak anak didik kita.
Para pembaca bisa membaca sendiri buku ini secara leluasa dalam perspektif masing masing dengan kata pengantar ditulis Dr. Masduki Duriyat, seorang Dosen Pascasarjana UIN Syekh Nurjati Cirebon, ia menulisnya multi perspektif dalam konteks pendidikan dengan bobot referensial secara akuntabel.
Sebagai seorang praktisi pendidikan, Dr. Masduki Duriyat sebagaimana ditulis dalam pengantar buku ini memang "memcemaskan" sulitnya membentuk karakter peserta didik dibanding transfer keilmuan secara kognitif. Ia menulis :
"Menjadikan peserta didik pintar boleh jadi lebih mudah melakukannya tapi menjadikan peserta didik agar menjadi orang baik , berkarakter, "humanis religius", tampaknya jauh lebih sulit", tulisnya.
"Banyak sekali potret pendidikan saat ini yang mempertontonkan dekadensi moral peserta didik kita. Pergaulan bebas, Narkoba, tawuran antar pelajar, dll, menggambarkan begitu rapuhnya karakter diri generasi muda Indonesia", tulisnya lebih lanjut.
Itulah kecemasan dan kerisauan kita saat ini tentang rapuhnya karakter anak anak didik kita dan kita mulai kesulitan mengembangkan potensi potensi positif dalam diri mereka, sebuah kecemasan yang menjadi "pemantik" Dr. Akhmad Aflaha menulis buku tentang "Pengembangan Karakter".
Dalam penelitian "Boston Consulting Group" (2018) pengaruh media sosial lebih banyak waktu "mendikte" hidup generasi muda ("gen z"), cenderung menggiring mereka, anak anak didik kita, serba instan, dangkal, gemar peristiwa viral tapi tak bermutu, malas baca literasi, rentan dipermainkan politik "post truth".
Politik "post truth", yakni politik rekayasa kebohongan yang dikonstruksi seolah olah fakta mendapat ruang leluasa di media sosial sehingga mendorong pergaulan lintas generasi untuk saling caci maki, tukar tambah ujaran kebencian dan lainnya. Karakter kesantunan sosial nyaris lumpuh.
Di sinilah kita perlu menggaris bawahi konstatasi Profesor Moh. Nuh, Mendiknas di era SBY, dalam "Sarasehan Pendidikan" dalam konteks implementasi Asta Cita Visi Presiden Prabowo' ("detik", 4/4/25)
Profesor Muh. Nuh menekankan pentingnya menjaga lembaga pendidikan sebagai institusi paling "teruji" sekaligus "terpuji" bukan saja dalam memotong problem garis kemiskinan tapi juga dalam pembentukan karakter bangsa.
Dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tentu eksistensi pesantren tak dapat diabaikan. Pesantren ditilik dari sejarahnya bukan sekedar lembaga pendidikan dengan sistem pembelajaran ilmu agama tapi ia sekaligus berfungsi sebagai lembaga pendidikan dalam pembentukan karakter yang kuat.
Gus Dur dalam buku "bunga rampai" yang ditulis sejumlah intelektual berjudul "Pesantren Dan Pembaharuan" (1974) menyebut pesantren sebagai "sub kultur", sebuah institusi pendidikan memiliki kedudukan kultural yang mampu membentuk sistem nilai peserta didik dan ekosistem sosial di sekitarnya.
Perspektif tulisan ini dengan seluruh paparan singkat di atas sebagai bagian untuk melengkapi dimensi cakrawala atas terbitnya buku yang ditulis Dr. Akhmad Aflaha ini hendak menekankan bahwa institusi pendidikan dalam beragam variannya adalah taman taman sari tempat bertumbuh dan bersemainya pembentukan bangunan karakter.
Pembentukan dan pengembangan karakter anak anak didik adalah investasi "inner power", yakni kekuatan terdalam mereka dalam merangkak dan mendaki jalan masa depan mereka dengan segala dinamika tantangan lintas zaman dan situasi.
Dalam Konteks surat surat J.D. Rockefeller di atas - hal itu hanya terbentuk oleh karakter kekuatan batin yang membekalinya, bila pendidik dan orang tua sepakat lebih "memilih nilai" dibanding "kasih sayang" sesaat dan artifisial.
Tanpa karakter yang "membasis bumi" sebuah generasi akan terapung apung dalam kehampaan yang tak bisa dijawab oleh logika dan formulasi formulasi modern.
Tanpa karakter yang kuat generasi masa depan akan menderita di tengah kemajuan teknologi, ia maksimal hanya tahu apa yang secara pragmatis menguntungkan dirinya tapi tidak bisa melaksanakannya dengan cara yang benar dan bijak.
Tanpa karakter yang kuat, dunia yang gemerlap akan kehilangan makna. Jabatan, kekuasaan dan kekayaan tidak akan sanggup membimbing mereka menjadi utuh sebagai manusia kecuali rentan memangsa sesamanya.
Resiko ekstremnya bila kerapuhan karakter dibiarkan maka agama pun yang dulu berfungsi sebagai penjaga nurani, kelak di masa depan pasca generasi kita akan lebih sering menjadi sekedar identitas kolektif bukan sebagai sumber etika yang hidup di ruang ruang publik.
Maka di tengah hiruk pikuk dunia, di tengah gelombang dahsyat media sosial itulah panggilan hidup untuk menghadirkan buku yang sederhana ini ibarat "jalan sunyi", ibarat lilin kecil di lorong lorong "sumpek" peradaban
Tapi betapa pun sederhananya buku ini, ia hadir dengan sepenuh empati dari sudut sudut kecemasan alam pedesaan yang mulai tidak ramah untuk ikhtiar kecil mengikat kita bersama betapa penting menyemai taman taman sari kehidupan untuk bertumbuhnya generasi generasi dengan karakter "membasis bumi" sekaligus dengan cakrawala menjulang langit (Q. S. Ibrahim, 24)
Mohamad Iqbal, seorang penyair Pakistan, dalam bukunya berjudul "Melejitkan Energy Al Qur'an" menulis :
"Peradaban akhlak publik apalagi yang hendak diwariskan untuk menyemai taman taman sari kehidupan bagi anak anak sejarah masa depan jika ekosistem sosial hari ini tidak memandu jalan pengembangan karakter dan kekuatan religiusitas mereka?", tulisnya.
Wassalam.