Monday, 15 December 2025

KORUPSI DAN HANCURNYA TANDA-TANDA KEMULIAAN BANGSA

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

(Refleksi Hari Korupsi Internasional)

Oleh : Ali Aminulloh 

Corruptio dan Fasad: Ketika Amanah Berubah Menjadi Kebusukan

lognews.co.id - Korupsi, sebuah kata yang secara etimologis sudah membawa beban kehancuran. Ia berasal dari bahasa Latin, Corruptio atau Corruptus, yang berarti kerusakan, kebusukan, atau kemerosotan. Dalam khazanah Islam, ia dikenal sebagai Fasad (kerusakan) atau Ikhtilas (penyelewengan). Definisinya sederhana namun dampaknya luar biasa: penyalahgunaan wewenang publik untuk keuntungan pribadi.

Di Indonesia, payung hukum kita, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, mengkategorikannya secara tegas: mulai dari penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri, suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, hingga pencucian uang (TPPU). Semua bentuk ini berakar pada satu hal: pelanggaran terhadap Amanah. Korupsi adalah fasad yang dilegitimasi oleh kekuasaan, merusak tatanan sosial, ekonomi, dan spiritual.

Tragedi Skor di Bawah 50: Indonesia dan Mega Korupsi BUMN

Inilah yang membawa kita pada realitas pahit Indonesia. Pada tahun 2024 lalu, masyarakat dikejutkan dengan kabar yang melukai rasa keadilan publik: temuan kasus mega korupsi di salah satu BUMN strategis, Pertamina, yang kerugiannya disinyalir mencapai angka fantastis hampir 1 Kuadriliun, atau tepatnya Rp 968,5 Triliun.

Ironi ini menusuk jiwa. BUMN yang seharusnya mengurus hajat hidup orang banyak, memonopoli pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harganya sering mahal dan membebani rakyat, justru disinyalir menjadi sarang fasad dengan nilai yang sulit dibayangkan. Lebih menyakitkan lagi, ada indikasi bahwa BBM yang dijual mahal itu merupakan hasil oplosan. Ketika uang rakyat dikorupsi sebesar itu dan hajat dasar rakyat dimanipulasi, wajar jika kepercayaan publik hancur.

Kejadian-kejadian mega skandal inilah yang menjadi kontributor langsung terhadap rendahnya skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) kita. Dengan skor hanya 37 dari 100, kita berada jauh di bawah angka 50. Dalam kriminologi, skor di bawah 50 menunjukkan bahwa suatu negara berada dalam kondisi korupsi akut yang terjadi secara sistemik dan merata. Selama para pelaku kejahatan kerah putih dengan nilai kerugian triliunan—yang berdampak langsung pada seluruh rakyat—masih terkesan aman dan lolos dari jerat hukum yang setimpal, selama itu pula skor integritas bangsa kita akan tetap rendah.

Korelasi Makro: Harga Sebuah Kejujuran di Mata Dunia

Inilah data ilmiah yang paling menyentak kesadaran: Tingkat korupsi sebuah negara berbanding lurus dengan kemakmurannya.

Negara-negara yang memiliki tingkat korupsi rendah (seperti yang ditunjukkan oleh CPI tinggi) cenderung menjadi negara kaya, memiliki Indeks Kebahagiaan (Happiness Index) tinggi, Indeks Keamanan tinggi, dan harapan hidup (life expectancy) yang panjang.

Ambil contoh Denmark. Negara ini secara konsisten menjadi salah satu yang terbersih dari korupsi. Apa dampaknya?

1. Mereka masuk dalam 10 besar negara terkaya di dunia.

2. Mereka berada di peringkat teratas dalam Indeks Kebahagiaan Global.

3. Mereka memiliki Indeks Keamanan yang sangat tinggi.

Menariknya, merujuk pada penelitian Hussein Askari dalam Economic Islamicity Index (nilai penerapan Islam dalam ekonomi), negara-negara maju seperti Denmark, Finlandia, Islandia, Swiss, dan Norwegia memiliki skor tinggi dalam penerapan nilai-nilai esensial Islam (keadilan, akuntabilitas, transparansi) meskipun mereka bukan negara mayoritas Muslim. Artinya, ketika nilai-nilai keutamaan Islam—integritas dan kejujuran—diterapkan secara esensial, maka ia akan menjadi formula universal untuk kemakmuran dan kebahagiaan bangsa.

Sebaliknya, negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi (seperti Sudan Selatan, Yaman, Kongo) masuk dalam kategori negara miskin, tidak aman, dan memiliki harapan hidup yang sangat rendah. Korupsi bukan hanya menghabiskan uang, tetapi menghabiskan kesempatan hidup warga negaranya.

Amanah: Beban Langit yang Dipikul Manusia

Korupsi pada intinya adalah pengabaian terhadap Amanah—titipan kepercayaan Ilahi. Allah SWT pernah menawarkan amanah agung ini kepada langit, bumi, dan gunung, namun semuanya menolak karena takut akan beratnya.

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh." (QS. Al-Ahzab: 72)

Ayat ini menegaskan bahwa ketika manusia menerima amanah, ada dua kemungkinan besar: kemuliaan luar biasa jika dijalankan, atau terjerumus dalam jurang kezaliman dan kebodohan jika diabaikan (korupsi). Menerima jabatan publik adalah menerima beban langit, yang jika dikhianati, akan membawa kehancuran dan fasad di muka bumi.

Membangun Pilar Amanah: Meneladani Sifat Utama Rasul

Bagaimana cara kita membangun kembali pilar amanah yang telah rapuh oleh korupsi? Kita harus kembali pada teladan utama kepemimpinan: Sifat-sifat Rasulullah SAW.

1. Siddiq (Integritas dan Kejujuran): Ini adalah fondasi. Integritas berarti kesesuaian antara lisan, hati, dan perbuatan.

2. Amanah (Dipercaya): Ketika shidiq tertanam kuat, otomatis muncul amanah.

3. Tabligh (Akuntabel dan Terbuka): Seorang pemimpin yang amanah akan mampu tabligh (menyampaikan kebenaran dan bertanggung jawab) secara terbuka dan akuntabel kepada rakyat.

4. Fathanah (Pintar dan Cekatan): Kecerdasan harus digunakan untuk melayani, bukan untuk mencari celah korupsi.

Inilah formula yang, secara esensial, diterapkan oleh negara-negara maju yang CPI-nya tinggi. Mereka menerapkan shidiq, amanah, dan tabligh dalam tata kelola mereka.

Refleksi: Panggilan Jiwa 9 Desember

Saudaraku sebangsa, peringatan Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember ini bukanlah hanya tentang data CPI atau pasal-pasal UU. Ini adalah panggilan jiwa.

Mari kita sadari bahwa setiap kasus korupsi, apalagi mega korupsi triliunan rupiah di BUMN strategis, adalah satu langkah mundur bagi bangsa kita menuju kemuliaan. Ia adalah alasan mengapa BBM kita mahal, mengapa anak-anak kita harus sekolah di gedung yang rapuh, dan mengapa kita meragukan keadilan.

Korupsi adalah penundaan janji Tuhan.

Jika negara-negara yang tidak mendasarkan Ketuhanan sebagai landasan bangsanya, bisa mencapai kemakmuran, keamanan, dan kebahagiaan dengan menerapkan prinsip esensial Amanah dan Keadilan, maka kita, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan, seharusnya mampu jauh melampaui mereka.

Jangan tunggu KPK beraksi, jadilah agen antikorupsi bagi diri sendiri!

Mari kita mulai dengan niat suci: mengembalikan shidiq di hati kita, menjalankan amanah di kantor kita, dan menuntut tabligh dari pemimpin kita. Hanya dengan Satukan Aksi dan memegang teguh Amanah Ilahi, kita akan membuktikan bahwa bangsa ini layak menerima kemuliaan, bukan kehancuran (fasad).

Mulai hari ini, mari kita ubah Corruptio menjadi Integra (Integritas) di setiap sendi kehidupan kita.