lognews.co.id, Bekasi - Prof. Dr. Imam Suprayogo adalah tokoh cendikia islam, juga pelaku pendidikan yang menghasilkan karya-karya besar yang monumental tidak diam saat Pendidikan Pesantren dipermasalahkan asal usul pendanaannya, karena dianggap tidak memahami bagaimana perspektif pesantren yang sudah ada bahkan menjadi bagian dari sejarah peradaban hingga perjuangannya mewujudkan Indonesia meraih kemerdekaannya.
Dalam wawancaranya dengan wartawan senior Nasution, Profesor Imam S membeberkan beberapa judul buku karangan dari para pakar didunia pesantren,seperti judul buku Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Karya Prof. Dr. Mastuhu, buku tradisi pesantren karya Zamakhsyari Dhofier, buku buku karya Endang Turmudi dan dirinya (Prof Imam s) saat meneliti peran kiyai dan politik yang dirangkai kedalam desertasinya.
Dalam wawancaranya melalui daring, bersama tim lognews membahas soal keperihatinan didunia pendidikan khususnya Pondok Pesantren, ketika Al Zaytun ditanyakan darimana sumber dananya dengan menuduh adanya dugaan pencucian uang, oleh pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan cara memblokir 256 rekening terkait pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun yang diumumkan oleh Menko Polhukam Mahfud Md.
Mahfud Md berbicara didepan wartawan di Jakarta, Rabu (05/07/2023) membeberkan rinci pemblokiran rekening pesantren tersebut.
"Ya memang. (Ada) 256 rekening atas nama Abu Toto Panji Gumilang, Abdu Salam Panji Gumilang, nama di itu ada 6. Ada Abu Toto, ada Panji Gumilang, ada Abu Salam, pokoknya 6 lah,"
Diawali dengan sapaan hangat, Prof Imam mengaku perihatin dengan kondisi pendidikan di pesantren hari ini sehingga tergerak untuk memberikan pemikirannya dalam mengembalikan pandangan pesantren yang berkeadilan.
Nasution : “Membangun pesantren yang mandiri apakah melanggar jika mengadakan pengumpulan dana ?”
Prof Imam S : “Memahami pesantren harus lewat kacamata pesantren itu sendiri, memahami pesantren dengan kacamata lembaga pendidikan pada umumnya itu bisa keliru”
Menurutnya dalam perspektif pesantren, tidak bisa dikatakan pesantren apabila kehilangan sosok kiyainya, karena kiyainya termasuk kedalam 5 unsur pesantren yang harus dimiliki yaitu, Kiyai, santri, masjid, perumahan tempat tinggal santri, dan harus ada pengajaran agama.
“jadi tidak bisa dilepaskan pesantren dari kiyai, kiyai itu adalah miliknya pesantren, menjadi pesantren itu karena ada kiyai, milik kiyai ya milik pesantren, milik pesantren, ya kiyai itu sendiri”.
Lebih dalam Prof Imam S menjelaskan bahwa Kiyai diberikan kepercayaan oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas mewakili masyarakat didunia pendidikan dengan sukarela untuk memberikan subangsihnya membina pendidikan islam di masyarakat, oleh masyarakat, bersumber dari rakyat, diberikan untuk pesantren demi kemaslahatan, maka orang sebagai penyumbang kepada pesantren dinilainya tidak patut dipermasalahkan dalam kontribusinya mendukung pesantren.
Nasution : “Ketika keikhlasan itu dimunculkan kepada penyumbang, apakah bisa para penyumbang bisa menjadi sasaran tembak oleh masyarakat yang tidak paham terhadap dunia pesantren ?”
Pertanyaan tersebut justru ditanggapi Prof Imam s, dengan mempertanyakan kembali pokok permasalahannya.
Prof Imam : “Kalau itu dipermasalahkan memang tidak mudah, ada gak peraturan yang memberi batasan batasan menyumbang kepada pesantren ?”
Prof Imam menyatakan, biasanya penyumbang tidak menuntut, dan tidak mungkin menyimpang karena kiyainya adalah bagian pesantren itu sendiri, tidak akan kemana mana, dan tidak perlu bertanggung jawab kepada penyumbang, sebab pertanggungjawabannya sudah langsung kepada Alah SWT.
“Para penyumbang biasanya memberi kepercayaan kepada pengurus Pondok Pesantren atau Kiyainya, maka itu tidak menuntut, bahkan senang jika bisa menyumbang banyak” ujar Imam S.
Menurutnya yang terjadi dalam pemeriksaan sumber pendanaan pada suatu pondok pesanten dengan memisahkan Kiyainya adalah cara pandang yang tidak linear.
“kalau melihat pesantren, lihatlah dari kacamata pesantren, itu merupakan satu kesatuan yang melekat”
Lanjut Prof Imam S, menjelaskan pada awalnya ijazah di Pesantren Gontor juga tidak diakui pemerintah, padahal menurutnya, bisa jadi di negeri ini, pesantren memiliki kreatifitas, punya keunggulan yang tidak dimiliki pemerintah, contohnya Pesantren Gontor secara masif, membentuk kualitas masyarakat dari nol hingga kini banyak yang mendapatkan gelar profesor.
“pesantren Gontor tidak diakui pemerintah sampai tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri, tapi di Mesir diterima, yang penting mereka punya ilmu dan mandiri” ujarnya.
Untuk itu perjuangan membangun pesantren menjadi besar tidak lepas dari Kiyainya yang membangun pesantrennya menjadi pesantren yang mandiri. (Amr-untuk Indonesia)


