Disarikan dari paparan Syaykh Al Zaytun pada Pelatihan Pelaku Didik oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Ditengah kompleksitas tantangan global, isu ketahanan pangan dan kualitas sumber daya manusia menjadi krusial. Seringkali, profesi petani dipandang sebelah mata, terperangkap dalam citra berlumpur dan lilitan utang. Namun, bagaimana jika kita melihat pertanian bukan hanya sebagai aktivitas menanam, melainkan sebagai sebuah manifestasi filsafat hidup dan pondasi peradaban? Artikel ini akan mengulas bagaimana pendekatan filosofis, metode ilmiah pertanian presisi, dan pendidikan yang berkesinambungan dapat mentransformasi petani menjadi "Satrio Wirotomo" yang berdaya, sekaligus membentuk generasi pelajar yang cakap dan beradab, demi terwujudnya Indonesia modern yang sejahtera.
1. Mengangkat Derajat Petani: Filsafat Pertanian sebagai Pilar Ketahanan Pangan
Dalam kegiatan pelatihan pelaku didik, Syaykh berdialog dengan para petani yang tergabung dalam P3KPI (Perkumpulan Petani Penyangga Ketahanan Pangan Indonesia) menandai sebuah gagasan revolusioner: mengajak petani memahami filsafat pertanian. Lebih dari 30 petani berkumpul untuk mendalami konsep ini. Selama ini, kesan petani seringkali hanya identik dengan lumpur, ketidakpahaman akan untung rugi, dan jeratan utang yang tak berkesudahan. Syaykh menekankan bahwa dengan mengangkat derajat petani, mereka tidak hanya akan menjadi penggarap lahan, tetapi juga pemikir strategis yang memahami setiap aspek pertanian.
Filsafat bertani, meskipun terdengar rumit, disederhanakan menjadi tiga pertanyaan fundamental: mengapa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Ini dapat dianalogikan dengan struktur tanaman itu sendiri: akar (mengapa), batang (bagaimana), dan buah (untuk apa). Misalnya, ketika ditanya "mengapa menanam padi?", jawabannya adalah ontologinya. "Bagaimana menanam padi?" adalah epistemologinya. Dan "untuk apa?" adalah aksiologinya.
Konsep ini tidak hanya teoritis. Seorang petani bernama Eli Sastra Wiguna dan Karsa Winangun menjadi contoh bagaimana nama pun dapat mengandung makna filosofis dalam konteks keberanian dan kemauan yang terbangun. Mereka diajak untuk memahami bahwa bertani bukan sekadar menabur benih, tetapi sebuah proses yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang bibit, cuaca, tempat tanam (sawah), dan lingkungan. Jika tidak memahami unsur-unsur ini, seorang petani bisa dikatakan "menanam dirinya sendiri" dalam jebakan utang dan kerugian.
2. Pertanian Presisi: Menerjemahkan Filsafat ke dalam Produktivitas Tinggi
Pendekatan "bagaimana" (epistemologi) dalam filsafat pertanian diterjemahkan ke dalam praktik pertanian presisi yang menggunakan metode ilmiah. Ini dimulai dari pemilihan bibit yang cermat, seperti bibit Koshihikari, Kaze, yang harus dikenal dengan baik, termasuk karakteristiknya seperti tunas, warna asli, kematangan, dan jumlah bulir terbanyak dalam satu malai. Bahkan, satu hektar lahan padi yang ditanam dengan benar hanya membutuhkan sekitar 5 kg bibit, asalkan dipelihara dengan baik.
Selanjutnya adalah persiapan lahan , yang dalam hal ini adalah sawah. Tanah harus diuji keasamannya (pH) menggunakan tester tanah. Idealnya, pH tanah untuk padi berada di angka 6,5 hingga 7. Jika tanah terlalu asam (misalnya pH 5,75), perlu dilakukan koreksi dengan menambahkan kapur pertanian (Kaptan) atau Dolomit untuk menaikkan pH. Pemeliharaan pH ini harus dilakukan secara berkelanjutan hingga padi matang.
Teknik penanaman juga ditekankan, seperti usia bibit yang ideal (17-20 hari) dan satu titik tanam untuk satu bibit, meskipun petani cenderung menanam lebih banyak karena keraguan. Penggunaan teknik jajar legowo juga dijelaskan secara rinci untuk memaksimalkan jarak tanam yang tepat, memungkinkan efektivitas lahan 99% dari 1 hektar.
Fase pemeliharaan meliputi menjaga ketersediaan air yang cukup (bukan berlebihan), mengendalikan gulma, serta mencegah hama dan penyakit. Hama seperti walang sangit dan burung perlu dikelola dengan baik. Dengan menerapkan metode saintifik ini, potensi hasil panen padi bisa mencapai 10 ton gabah kering panen per hektar, atau sekitar 8,9 ton gabah kering giling, dan bahkan 5,7 ton beras. Ini jauh melampaui target awal 7 ton per hektar. Bahkan, Syaykh tengah meneliti padi Koshihikari Kaze yang bisa panen dua kali dalam sekali tanam, mengurangi biaya bibit, olah lahan, dan tanam yang merupakan biaya terbesar.
3. Keadilan Sosial dalam Pertanian: Aksiologi dan Transformasi Masyarakat
"Untuk apa" (aksiologi) dari pertanian ini mencakup tujuan yang lebih besar: mencukupi kebutuhan pangan kampus dan para petani sendiri, mewujudkan swasembada pangan, dan yang terpenting, menciptakan keadilan sosial. Di Al Zaytun, hasil panen dibagi dua: satu bagian untuk ma'had dan satu bagian untuk petani. Petani kemudian diminta menjual hasilnya ke Ma'had, sehingga mereka memperoleh pendapatan untuk kesejahteraan.
Model ini merefleksikan nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Petani yang berpendekatan ilmiah dan Pancasilais akan mewujudkan negara yang "Toto titi tentrem kerto, raharjo, murah sarwatinuku, subur sarwatinandur". Mereka adalah "Petani Satrio Wirotomo" yang tak gentar menghadapi tantangan.
Selain itu, filosofis ini juga membahas struktur bernegara: hukum, pemerintah, dan rakyat. Konsep ini disamakan dengan Rububiah, Mulkiyah , dan Uluhiyah, yang menjadi dasar dalam ilmu tauhid dan filsafat. Pemahaman ini penting agar setiap tindakan, termasuk dalam pertanian, selaras dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan Indonesia.
4. Pendidikan Berbasis Filsafat: Membentuk Insan Beradab dan Berpikir Kritis
Filsafat "mengapa, bagaimana, untuk apa" tidak hanya berlaku untuk pertanian, tetapi juga untuk pendidikan. Pelajar diajak bertanya: mengapa belajar (ontologi), bagaimana belajar (epistemologi), dan untuk apa belajar (aksiologi). Mengapa belajar berkaitan dengan wujud dari pembelajaran itu sendiri. Bagaimana belajar melibatkan guru, tempat belajar, kurikulum, metode, dan kehidupan berasrama. Untuk apa belajar adalah tujuannya: menjadi insan yang sempurna.
Pendidikan harus mengenal tokoh-tokoh peradaban dunia, dari zaman klasik seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Confusius, Laozi, Pythagoras, Isocrates, hingga Buddha Gautama. Peradaban tidak pernah terputus, kecuali oleh peperangan, sehingga penting untuk memastikan kelangsungan pengetahuan dan nilai-nilai.
Pendekatan pengajaran di sini merujuk pada metode Sokrates, di mana guru tidak pernah menggurui melainkan terus bertanya sampai siswa menemukan jawabannya sendiri. Ini dikenal sebagai Tajahul As-Sukrati (kepura-puraan bodoh), di mana guru berpura-pura tidak tahu untuk memancing pemikiran kritis murid. Contohnya, ketika ditanya tentang lokasi Surabaya, guru akan terus bertanya hingga murid memberikan jawaban yang tepat dan detail, menunjukkan pemahaman mendalam. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa murid benar-benar mengerti, bukan hanya menghafal. Guru yang "terlalu pintar" dan marah saat ditanya oleh murid justru menunjukkan ketidakpahaman pada madzhab peradaban ini. Dengan demikian, pendidikan di sini berupaya menciptakan pemikir, bukan sekadar penghafal.
Epilog
Dari gemericik air di sawah hingga hiruk pikuk ruang kelas, setiap sendi kehidupan adalah medan untuk berfilsafat. Memahami "mengapa", "bagaimana", dan "untuk apa" tidak hanya berlaku bagi petani atau pelajar, tetapi bagi kita semua dalam menjalani hidup. Dengan mengangkat harkat petani melalui ilmu dan filsafat, dengan mendidik generasi penerus melalui pertanyaan yang memantik kebijaksanaan, kita sedang menanam benih-benih peradaban. Ini adalah ikhtiar kolektif untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan berpengetahuan, sebuah bangsa yang berdiri kokoh di atas fondasi pangan yang kuat dan jiwa yang tercerahkan. Biarlah setiap bulir padi yang tumbuh, setiap gagasan yang bersemi, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang mengukir simfoni Indonesia yang abadi.