PEMILU
Tuesday, 03 June 2025

LSTEAM: Gagasan Revolusioner Pendidikan Hukum Sejak Dini untuk Indonesia Sadar Hukum

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Oleh: Ali Aminulloh

lognews.co.id, Pada Jumat, 23/5/25, dalam sebuah majelis Dzikir Juma't, Syaykh Al-Zaytun Prof. DR. Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, M.P. menyampaikan sebuah gagasan yang menggugah sekaligus mengguncang nalar pendidikan di Indonesia. Dalam untaian pikirannya yang jernih namun radikal, beliau menyoroti satu hal mendasar yang selama ini luput dari perhatian bangsa: pentingnya pendidikan hukum sejak dini sebagai fondasi membangun budaya hukum nasional.

"Indonesia adalah negara hukum, tapi tidak ada pembelajaran hukum di pendidikan formal," ujar Syaykh. Sebuah kritik tajam yang menyayat nalar kewarasan publik. Selama ini, hukum hanya diajarkan secara formal di jenjang perguruan tinggi, itupun terbatas pada fakultas hukum. Maka, ketika hukum dilanggar bukan hanya oleh rakyat kecil, tetapi juga oleh pejabat tinggi negara, itu bukanlah sebuah keanehan—melainkan konsekuensi dari sistem pendidikan yang abai terhadap hukum sebagai norma publik.

Paradoks Pendidikan dan Pelanggaran Hukum

Moral dan norma hukum agama memang telah diajarkan sejak dini melalui fikih. Di dalamnya terdapat ajaran tentang perintah dan larangan. Namun pertanyaannya, siapa yang menegakkan ketika larangan itu dilanggar? disinilah akar persoalannya. Ketika pelanggaran tidak ditindak, ia berubah menjadi kelaziman. Jika kelaziman itu telah merasuk ke dalam kesadaran generasi muda, maka pelanggaran hukum menjadi hal biasa. Ini bukan hanya krisis hukum, melainkan krisis peradaban.

Kondisi makin mengkhawatirkan ketika pelanggaran hukum dilakukan terang-terangan oleh oknum para penyelenggara negara. Ironisnya, institusi penegak hukum pun bisa dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan tertentu. Lebih tragis lagi, lembaga pendidikan tinggi ternama yang seharusnya menjadi benteng moral justru berpotensi menyimpang ketika kepentingan pragmatis lebih dominan dari integritas akademik.

Bagi seorang pendidik yang masih berfikir "waras", ini adalah kegelisahan yang mendalam. Dan menurut Syaykh Al-Zaytun, jawabannya sangat jelas: mulailah dari pendidikan.

Pendidikan Hukum Sejak Dini: Realistis dan Rasional

Syaykh Al-Zaytun mengusulkan, pendidikan hukum harus menjadi bagian integral dari kurikulum sejak pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Hukum tidak boleh lagi menjadi milik eksklusif segelintir elite, tetapi harus menjadi pengetahuan dasar setiap warga negara. Hukum harus dipahami sebagai norma perilaku yang dibentuk negara demi mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, serta memberikan sanksi bagi pelanggarnya.

Pemikiran ini sejalan dengan gagasan hukum Islam klasik yang dikemukakan Imam Asy-Syatibi: jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid — menghadirkan kebaikan dan menolak kerusakan. Dalam Al-Qur’an, Allah disebut sebagai rabb (Maha Pengatur), yang memiliki akar kata sama dengan tarbiyah (pendidikan). Artinya, terdapat relasi erat antara hukum dan pendidikan. Namun dalam praktiknya, keduanya berjalan sendiri-sendiri.

Gagasan integratif Syaykh Al-Zaytun ini mungkin terdengar utopis. Namun sesungguhnya sangat realistis dan rasional. Persoalannya hanyalah: apakah bangsa ini mau memulainya?

Etika atau Hukum Dulu?

Sering kita dengar adagium bahwa etika berada di atas hukum. Konon, jika manusia telah beretika, maka hukum tidak lagi diperlukan. Tapi pada kenyataannya, etika tak memiliki daya paksa. Ia tumbuh dari kesadaran dan kebiasaan. Pertanyaannya, mana yang harus didahulukan: etika atau hukum? Sebuah dilema klasik layaknya pertanyaan “ayam atau telur duluan”.

Fakta empiris menunjukkan bahwa etika publik justru dibentuk dari law enforcement yang konsisten. Tengoklah Singapura: warganya sangat menjunjung etika kebersihan. Tapi itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada kekuatan hukum yang kuat dan konsisten di baliknya. Akibatnya, bahkan warga asing, termasuk dari Indonesia, ikut tertib saat berada di sana. Namun begitu kembali ke tanah air, "penyakit lama" kambuh kembali. Ini karena lingkungan belum terbentuk, budaya hukum belum hidup.

Karena itu, hukum, etika, budaya, dan pendidikan harus berjalan serempak. Semua bermula dari pendidikan. Inilah yang disebut Syaykh sebagai novum gradum - tahapan baru dalam dunia pendidikan. Dan Al-Zaytun akan memulainya.

Rancang Bangun Pendidikan Hukum Nasional

Di tingkat praktis, diperlukan perumusan kurikulum, perencanaan matang, dan action plan yang konkret. Di titik inilah pelatihan berkelanjutan menjadi keniscayaan. Pendidikan adalah kerja kolektif, melibatkan semua unsur: pendidik, tenaga kependidikan, dan lembaga pendidikan. Semua harus satu visi untuk mewujudkan Indonesia yang sadar hukum.

Kurikulum pendidikan hukum harus disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik. Di PAUD, anak-anak dapat diajarkan etika berjalan, berbagi, berbicara, dan berperilaku, yang dikaitkan langsung dengan norma hukum.

Di SD, mereka mulai diperkenalkan pada norma hukum positif. Misalnya, aturan berjalan di kiri jalan sebagai implementasi dari undang-undang lalu lintas beserta alasan filosofisnya.

Di SMP dan SMA, peserta didik diperkenalkan pada sistem hukum, hukum acara, dan lembaga-lembaga penegak hukum. Mereka dapat melakukan simulasi proses peradilan secara sederhana: mulai dari pelapor, penyidik, penuntut, hakim, hingga pembela. Semua itu dikemas dalam nomenklatur pendidikan yang edukatif.

Pada tahap ini pula, anak didik mulai dihadapkan pada realitas sosial yang kompleks, misalnya fenomena bullying dan ujaran kebencian, yang kini marak di kalangan remaja, baik di lingkungan sekolah maupun di media sosial. Anak-anak perlu diberikan pemahaman hukum bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mengandung konsekuensi hukum. Dalam hal ini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi instrumen hukum yang mengatur sanksi terhadap ujaran kebencian dan kekerasan verbal di dunia digital. Dengan pendekatan seperti ini, peserta didik tidak hanya mengenali aturan, tetapi juga menyadari dampak hukum dari setiap perilaku yang dilakukan.

Membangun Budaya Hukum

Mengutip Lawrence Friedman, terdapat tiga elemen dalam negara hukum: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum merujuk pada lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Substansi hukum menyangkut peraturan, undang-undang, dan kebijakan. Sementara budaya hukum adalah perilaku aparat dan masyarakat sebagai subjek hukum.

Masalah terbesar Indonesia terletak pada aspek budaya hukum. Sebaik apapun undang-undangnya, jika aparatnya tidak lurus, maka hukum bisa digunakan sebagai alat pembenaran, bahkan pembinasaan. Maka membangun budaya hukum adalah keniscayaan atau orang menyebutnya "harga mati".