Saturday, 13 December 2025

Menguak "Peradaban Islam": Jejak Ekoteologi dan Keadilan Ilahi di Al-Zaytun

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh Ali Aminuloh 

(Disarikan dari Dzikir Jumat Syaykh Al Zaytun)

lognews.co.id - Setiap Jumat, pesan yang disampaikan oleh Syaykh dalam Dzikir Jumat di Ma'had Al-Zaytun selalu sarat makna, membuka cakrawala pemikiran baru. Dalam majelis Dzikir Jumat tanggal 12 Desember 2025, topik yang dibahas tidak hanya menyentuh spiritualitas, tetapi juga akar filosofis yang menghubungkan ajaran Ilahi dengan isu paling mendesak di zaman ini: lingkungan—sebuah konsep yang selama ini menjadi konsentrasi utama Al-Zaytun.

Konsentrasi Lingkungan Sejak Awal: Ekoteologi Al-Zaytun

Syaykh menekankan bahwa kepedulian Al-Zaytun terhadap lingkungan bukanlah hal baru, melainkan telah terjalin sejak awal berdirinya. Hal ini sejalan dengan gagasan Kemenag yang sedang mengkaji Ekoteologi.

> Ekoteologi adalah sebuah kerangka berpikir yang menghubungkan ajaran Ilahi dengan kondisi alam dan lingkungan.

Syaykh menyoroti bahwa pada hakikatnya, setiap muslim sudah bersentuhan dengan ekoteologi sejak awal ibadah dalam shalatnya. Pengucapan "Alhamdulillah Rabbil Alamin" (Segala Puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam) menjadi penanda paling awal. "Ini menunjukkan ekoteologi," tegas Syaykh.

Dalam pemahaman Syaykh, Rabbil Alamin (Tuhan Semesta Alam) sebagai Khaliqil Alam (Pencipta Semesta Alam), Sang Pemberi Ajaran. Makhluk yang paling setia dan ditunjuk untuk menerima ajaran Ilahi itu adalah manusia. Hanya manusia kadangkala dhalim dan jahil tidak menjalankan tunjuk ajarannya.

Ajaran Ilahi vs Ajaran Agama

Salah satu poin paling tajam dalam pesan Syaykh adalah perbedaan mendasar antara Ajaran Ilahi dan Ajaran Agama. Syaykh mengingatkan agar kita tidak melulu mengatakan "agama Islam," melainkan lebih tepat menyebutnya "Peradaban Islam."

 * Ajaran Agama: Seringkali berfokus pada aturan-aturan fikih parsial yang dapat melahirkan perbedaan (firqah-firqah), sehingga terpecah menjadi 73 golongan dan memunculkan vonis sesat pada praktik yang sebenarnya sejalan dengan ajaran universal Ilahi. Contohnya, praktik duduk kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam ibadah shalat berjamaah yang oleh sebagian pihak dianggap sesat.

 * Ajaran Ilahi (Peradaban Islam): Bersifat universal dan menekankan keadilan serta keseimbangan. Syaykh mengutip firman Allah: "Al-Mu’minun Al-Mu’minat" (Laki-laki Mukmin dan Perempuan Mukmin) yang menunjukkan adanya kesejajaran yang diakui dan diangkat dalam sumber utama.

Syaykh bahkan menyatakan, vonis hukum yang pernah menimpanya lebih disebabkan oleh tuduhan melanggar "ajaran agama," bukan karena melanggar "ajaran Ilahi." Ekoteologi, dalam pandangan Syaykh, adalah bagian dari ajaran Ilahi yang secara spesifik berkaitan dengan lingkungan.

Mandat Kekhalifahan dan Common Law

Konsep ekoteologi ini semakin diperkuat dengan pemahaman Syaykh mengenai mandat penciptaan manusia di bumi. Allah berfirman, "Inni ja'ilun fil Ardhi Khalifah" (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah). Ini berarti Allah memiliki wakil di bumi, yaitu manusia, untuk menjalankan perintah-Nya.

> "Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (hukum) di antara manusia dengan adil." (QS. Sad: 26)

Syaykh menekankan bahwa dalam konteks ini, manusia diamanahkan untuk menggunakan Common Law (hukum yang mengedepankan akal sehat, keadilan, dan kemaslahatan) daripada Civil Law (hukum formal yang membutuhkan jaksa, saksi, dan prosedur rumit). Perubahan di bumi memang dilakukan oleh manusia karena manusia adalah wakil-Nya. Inilah implementasi dari firman:

> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Mafhum Mukhalafah: Menjaga Keseimbangan Alam

Kaitan ekoteologi dengan tanggung jawab manusia semakin gamblang melalui pemahaman mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan makna) dari ayat:

> “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)

Syaykh mengajak hadirin untuk memahami kebalikannya (mafhun mukhalafah): "Dhahara Al-Shalah fil Barri wal Bahri bi ma kasabat aidin Nas" (Telah nampak kebaikan/perbaikan di darat dan di laut disebabkan oleh amal perbuatan tangan manusia). Ini adalah inti dari ekoteologi—bahwa manusia memiliki kuasa untuk merusak atau memperbaiki alam.

Pesan Syaykh diakhiri dengan seruan untuk kembali kepada Ajaran Ilahi yang universal, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang melampaui sekat-sekat aliran agama. Dengan kembali pada ajaran Ilahi, manusia dapat menjalankan mandat kekhalifahan sejati, menciptakan "Peradaban Islam" yang adil, dan mewujudkan keseimbangan (ekoteologi) di darat dan di laut.