Tuesday, 16 December 2025

Membangun Indonesia dengan Kekuatan SDM dan SDA Menuju Indonesia Emas 2045

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh: Mochamad Iqbal Aulia, S.Sos.

lognews.co.id, Indonesia -  Wisuda Keenam Institut Agama Islam Al Zaytun Indonesia (IAI AL-AZIS) menjadi momentum intelektual dan kebangsaan yang penting. Dalam orasinya, Syaykh menegaskan bahwa para wisudawan bukan sekadar lulusan akademik, melainkan barisan pelaku sejarah yang akan ikut menentukan arah Indonesia menuju satu abad kemerdekaannya pada tahun 2045. (15/12/'25)

Sejak awal, Syaykh menempatkan para wisudawan sebagai saudara seperjuangan. Mengutip teladan Nabi Muhammad SAW, beliau menekankan bahwa dalam perjuangan Rasul tidak dikenal istilah senior–junior, melainkan “walladzīna ma‘ahu” (orang-orang yang bersama beliau). Prinsip persaudaraan ini dimaksudkan agar para lulusan tidak merasa kecil, inferior, atau sekadar pelengkap, tetapi berdiri sejajar sebagai subjek pembangunan bangsa.

Syaykh mengingatkan bahwa dunia menyimpan banyak rahasia dan ketidakpastian. Karena itu, masa depan Indonesia tidak boleh diserahkan pada spekulasi atau keberuntungan, melainkan harus dirancang dengan visi, ilmu, dan kerja nyata. Dengan waktu kurang dari 20 tahun menuju Indonesia Emas 2045, generasi muda hari ini memiliki hak sekaligus kewajiban sejarah untuk memikirkan dan membangun Indonesia.

Dalam pidatonya yang berjudul “Membangun Indonesia dengan Kekuatan SDM dan SDA secara Terpadu Menuju Indonesia Emas 2045”, Syaykh memaparkan bahwa Indonesia berdiri bukan sebagai turunan kerajaan masa lalu seperti Majapahit atau Pajajaran. Indonesia adalah entitas baru yang qiyāmuhu binafsihī—berdiri oleh dirinya sendiri. Fondasi kelahiran Indonesia adalah Sumpah Pemuda, yang oleh Syaykh disebut sebagai proklamasi pertama bangsa Indonesia, jauh sebelum proklamasi politik 1945.

Bahasa Indonesia, menurut Syaykh, adalah perekat utama bangsa. Oleh sebab itu, semangat persatuan seharusnya tidak hanya diekspresikan dalam istilah Negara Kesatuan Indonesia, tetapi lebih dalam sebagai Persatuan Indonesia. Nasionalisme Indonesia, lanjut beliau, harus dibangun melalui kesadaran kebangsaan yang hidup, salah satunya dengan membumikan Indonesia Raya tiga stanza sebagai anthem pendidikan nasional.

Syaykh juga menyoroti dinamika sejarah kolonial. Politik etis Belanda, meskipun sarat kepentingan, melahirkan tiga program strategis: pembangunan infrastruktur pangan, pendidikan terapan, dan transmigrasi. Pendidikan terapan inilah yang kemudian melahirkan sumber daya manusia terdidik, yang pada akhirnya melahirkan kesadaran kebangsaan dan Sumpah Pemuda. Dari sini Syaykh menegaskan bahwa kemajuan bangsa tidak lahir dari romantisme sejarah, melainkan dari investasi pada manusia.

Indonesia, menurut Syaykh, memiliki dua kekuatan utama: sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang besar. Pada tahun 2045, penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 350 juta jiwa. Jumlah ini dapat menjadi beban besar atau aset luar biasa, tergantung bagaimana diarahkan. Di sinilah pendidikan memegang peran kunci.

Menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, krisis energi, dan disrupsi teknologi, Syaykh menawarkan paradigma baru dalam pendidikan nasional melalui kurikulum L-STEAMS (Law, Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics, and Spiritual). Kesadaran hukum, menurut beliau, tidak bisa hanya ditegakkan melalui penindakan, tetapi harus ditanamkan sejak usia dini melalui pendidikan.

Dalam konteks ini, Syaykh menegaskan kembali pandangannya bahwa Islam adalah peradaban, bukan sekadar agama ritual. Ketika Islam direduksi hanya menjadi persoalan fikih sempit, maka umat akan kehilangan daya cipta dan visi peradaban. Karena itu, filsafat pendidikan yang dibangun harus berakar pada Mabādi’uts Tsalāṡah, prinsip akar, batang, dan buah, sebagai fondasi berpikir dan bertindak.

Syaykh juga memaparkan visi pendidikan nasional jangka panjang: kewajiban belajar 16 tahun yang sepenuhnya dibiayai negara, dengan komposisi 90% pendidikan politeknik dan 10% akademik. Targetnya, pada tahun 2045 seluruh pemuda Indonesia menjadi tenaga terdidik. Dengan 900.000 lulusan politeknik setiap tahun, Indonesia diharapkan mampu membangun infrastruktur nasional, dari rel kereta api antarwilayah hingga transportasi antarpulau.

Lebih jauh, Syaykh menegaskan bahwa Indonesia harus menjadi lumbung pangan dunia, memiliki energi bersih, dan menguasai teknologi strategis termasuk nuklir untuk tujuan damai dan kemanusiaan. Semua itu hanya dapat dicapai dengan sumber daya manusia unggul yang bekerja secara terpadu dan berorientasi masa depan.

Roadmap menuju Indonesia Emas dipaparkan secara sistematis:

2026–2030: fondasi pendidikan L-STEAMS dan penguatan fiskal

2031–2035: hilirisasi industri dan pangan terpadu

2036–2040: Indonesia sebagai pusat inovasi regional

2040–2045: Indonesia sebagai negara maju yang adil dan berkelanjutan

Visi ini, menurut Syaykh, bukan utopia. Ini adalah panggilan sejarah. Para wisudawan diajak untuk tidak menjadi penonton, tetapi pemain utama dalam perjalanan bangsa. Jika ada yang tidak sepakat, Syaykh dengan terbuka mengajak untuk berdiskusi, sebuah sikap ilmiah dan kenegarawanan yang menandai kepemimpinan intelektual sejati.

Orasi ditutup dengan ajakan membayangkan Indonesia 2045: generasi muda yang cerdas dan berintegritas, ekonomi yang tumbuh adil dan berkelanjutan, pangan yang memberi kehidupan bagi dunia, transportasi yang mempersatukan nusantara, dan energi bersih yang menopang masa depan umat manusia.

Wisuda Keenam IAI AL-ZAYTUN Indonesia pun menjadi lebih dari sekadar seremoni akademik. Ia menjadi peneguhan arah peradaban, bahwa ilmu, iman, dan kebangsaan dapat dan harus berjalan bersama untuk mewujudkan Indonesia Abadi.